Belum lama berselang (13/9) diberitakan kematian secara
beruntun tiga orang teknisi Rusia yang tergabung dalam tim perakitan pesawat
tempur Sukhoi di Makasar. Semula dinyatakan bahwa korban meninggal karena
serangan jantung dan rekan sekerjanya mengalami shock melihat temannya tewas
dan ikut meninggal sejam kemudian. Namun tentunya kematian tiga orang dalam
satu lokasi secara simultan dalam satu hari bukanlah ‘kebetulan’ diakibatkan
karena sebab alami (natural cause). Belakangan diakui bahwa kematian
tiga teknisi dari negeri beruang ini karena keracunan methanol. Ada dua orang
lainnya yang mengalami intoksikasi serupa namun nyawanya berhasil diselamatkan.
Ada dua ‘jenis’ alkohol yang amat mirip baik dalam
penampilan,bau maupun rasanya yaitu ethanol dan methanol.
Ethanol adalah bahan dasar pembuatan minuman keras (beverage)
dengan kadar bervariasi, sedangkan methanol tidak pernah dipakai untuk
campuran miras dan hanya digunakan dalam industri dan dalam bahasa sehari-hari
kita dinamakan dengan ’spiritus’. Mengingat ‘kemiripan’ antara kedua zat ini,
acapkali sering diproduksi secara ilegal miras yang berbahankan methanol
yang memang mudah didapatkan dengan harga cukup murah. Dan para penenggak minuman keras ini
juga tidak banyak merasakan perbedaan antara ethanol dan methanol
ini.
Methanol termasuk golongan racun sangat
berbahaya. Dengan dosis 30 mililiter saja yang dikonsumsi dapat menyebabkan
kebutaan permanen karena kerusakan dari serat saraf mata. Pada dosis 100 mL methanol
ini dapat menyebabkan kematian. Methanol sendiri sebenarnya bukanlah
bahan beracun, namun dalam perjalanannya dia mengalami metabolisme (penguraian
zat) menjadi formaldehyde selanjutnya diurai lagi menjadi asam format ( formic
acid ) oleh enzym alcohol dehydrogenase. Asam format inilah yang mempunyai
daya rusak yang kuat pada hati ( lever ) dan ginjal ( kidney ).
Sebagian besar korban meninggal diakibatkan karena gagal hati dan gagal ginjal.
Tindakan darurat yang dilakukan tidak
dapat dengan cara merangsang muntah ataupun dengan pemberian ’norit’ ( activated
charcoal ), karena metode ini tidak efektif terhadap keracunan methanol.
Cara yang tepat adalah dengan memberikan antidote (penangkal) yaitu
diberikan ethanol (!) atau fomepizole. Cara kerja ke dua zat ini
adalah dengan menghambat kerja enzim pengurai methanol ( yang dinamakan competitive
inhibition ) sehingga methanol tidak sempat terurai dan akan dikeluarkan
melalui ginjal dalam bentuk utuhnya. Yah, penangkalnya adalah ethanol
berkadar 5 -10 % yang bisa diberikan dalam cairan infus dextrose 5 % atau bisa
juga diminumkan kepada pasien berupa whisky, vodka, atau gin.
Tentu saja jumlah yang diteguk dalam pengawasan dokter. Antidot yang lain yaitu
fomepizole memang lebih efektif, namun harganya sangat mahal – untuk
penanganan pasien keracunan methanol dengan fomepizole ini pasien
akan mengeluarkan biaya sekitar 3.500 dollar AS. Keuntungan penanganan pemberian
antidot dengan ethanol ini adalah ’kemudahan untuk mendapatkannya’,
karena cairan ini memang selalu ada di rumah sakit.
Keracunan lain yang mempunyai kemiripan
dengan intoksikasi methanol adalah akibat meminum (sengaja atau tidak
sengaja) ethylene glycol. Cairan ini adalah campuran untuk air radiator
( anti-freeze ) dan minyak rem ( hydraulic brake fluid ). Cairan
ini tidak berwarna, tidak berbau dan berasa manis. Cairan ini juga sering
dipakai (secara ilegal) sebagai pengganti alkohol karena murah harganya. Juga
karena rasanya yang manis sering secara tidak sengaja diminum oleh anak kecil
dan juga hewan peliharaan. Sama seperti pada methanol, keracunan terjadi
akibat metabolisme ethylene glycol ini menjadi asam glikolat ( glycolic
acid ) dan asam oksalat ( oxalic acid ). Akibat yang ditimbulkan
adalah gangguan jantung dan diakhiri dengan gagal ginjal akut.
Antidot untuk keracunan ethylene
glycol ini juga digunakan ethanol atau fomepizole ( nama
dagang zat ini Antizol ). Dengan pemberian zat ini maka enzym yang akan
mengurai ethylene glycol akan terhambat (terblokir) sehingga mengurangi
keracunan yang terjadi. Apabila kondisi pasien cukup parah maka diperlukan juga
tindakan hemodyalisis (cuci darah) untuk membuang ethylene glycol
dan metabolitnya dari dalam darah. Tindakan pembilasan lambung ( gastric
lavage ) hanya dilaksanakan apabila pasien datang kurang dari 60 menit
setelah menenggak ethylene glycol dan sesudah melewati waktu itu
dianggap tidak efektif lagi. Demikian
pula pemberian ’norit’ ( activated charcoal ) sama sekali tidak berguna.
Tindakan
merangsang muntah pasien juga tidak dianjurkan.
Prognosa ( ramalan kesembuhan ) pasien
pada keracunan ini cukup baik apabila diberikan pertolongan medis darurat
dengan segera. Pada pertolongan yang terlambat diberikan dapat mengakibatkan
kerusakan saraf atau stroke yang permanen atau kerusakan ginjal permanen
yang menyebabkan pasien harus menjalani hemodialisa (cuci darah) seumur hidup.
No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.