Pembebasan Irian Barat 1945-1963 M
Pembebasan
Irian Barat merupakan salah isu kedaulatan terbesar pada awal masa kemerdekaan
Republik Indonesia. Konflik ini muncul ketika Belanda tidak bersedia untuk
menyerahkan Irian Barat ke dalam bagian NKRI, dan memilih untuk menjadikan
wilayah itu sebagai negara boneka. Konflik perebutan wilayah ini menguras
banyak energi tokoh-tokoh NKRI untuk tetap menjaga kesatuan wilayahnya. Untuk
mempertahankan Irian Barat, mereka berjuang melalui berbagai jalur mulai dari
diplomasi hingga militer.
Latar Belakang Masalah Irian
Barat
Pada
awalnya, Irian Barat merupakan wilayah jajahan Belanda dan bagian dari kesatuan
dari pulau-pulau lain di Indonesia dalam Hindia Belanda. Namun, ketika
penyerahan kemerdekaan kepada RI, Irian Barat belum disertakan di dalamnya. Hal
ini menyebabkan kepemilikan wilayah itu menjadi permasalahan antara RI dan
Belanda, sehingga munculah upaya pembebasan Irian Barat dari tahu 1945-1963.
Dalam
sidang BPUPKI ditegaskan bahwa wilayah Republik Indonesia mencakup seluruh
wilayah bekas Hindia Belanda, yang terbentang dari Sabang sampai Merauke.
Oleh karena itu, ketika Indonesia merdeka maka Irian Barat sudah seharusnya
ikut merdeka.
Namun,
Belanda tidak mau mengakui kemerdekaan Indonesia, tetapi justru melakukan
agresi ke NKRI, sehingga berkobarlah perang kemerdekaan (1945-1949). Akibat
perjuangan Indonesia dan dukungan forum internasional, Belanda akhirnya
mengakui kemerdekaan Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar pada tahun 1949.
Kendati
Belanda telah mengakui, namun dalam penyerahan kedaulatan tersebut Irian Barat
belum disertakan dan baru akan dirundingkan satu tahun kemudian.
Pada
kenyataannya masalah Irian Barat tidak mudah untuk diselesaikan, karena Belanda
tetap bersikeras mempertahankan wilayah itu. Oleh karena itu, tuntutan yang
dilancarkan pihak Indonesia terus mengalami jalan buntu.
Meskipun
mendapati jalan buntu, namun pemerintah Indonesia tidak putus asa. Sebagai
solusi pertama, Indonesia menggunakan jalur diplomasi untuk merundingkan
penyerahan Irian Barat ke Indonesia.
Perjuangan Pembebasan Irian
Barat di Bidang Diplomasi
Setelah
setahun, Irian masih tetap dikuasai oleh Belanda, dan usaha-usaha secara
bilateral telah mengalami kegagalan, maka Pemerintah Indonesia sejak tahun 1954
membawa permasalah Irian ke dalam sidang Majelis Umum PBB. Persoalan Irian
berulang kali dimasukkan ke dalam acara sidang Majelis Umum PBB, tetapi tidak
pernah berhasil memperoleh tanggapan positif.
Pada
sidang Majelis Umum tahun 1957, Menteri Luar Negeri Indonesia, Roeslan
Abdulgani, menyatakan dalam pidatonya, ketika ikut dalam perdebatan bahwa
Indonesia akan menempuh jalan lain yang tidak akan sampai kepada perang untuk
menyelesaikan sengketa Irian dengan Belanda, jika sidang ke-12 PBB tidak
berhasil menyetujui resolusi Irian Barat.
Sayangnya,
pidato dari menteri luar negeri tidak dapat merubah pendirian negara-negara
pendukung Belanda, sehingga resolusi yang disponsori 21 negara termasuk
Indonesia tidak dapat dimenangkan karena tidak mencapai 2/3 suara.
Negara-negara Barat masih kokoh mendukung posisi Belanda, malah sikap itu
bertambah kuat dengan adanya Perang Dingin antara Blok Timur dan Barat. Dengan
demikian pihak Belanda tetap tidak mau menyerahkan Irian Barat, bahkan mereka
tidak mempunyai keinginan untuk membicarakannya lagi.
Pembebasan
Irian Barat merupakan sebuah tuntutan nasional yang didukung oleh semua partai
politik dan semua golongan. Tuntutan itu didasarkan atas pembukaan UUD 45;
“Untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Sementara Irian
adalah bagian mutlak dari tumpah darah Indonesia. Itulah sebabnya,
kabinet-kabinet pada sistem parlementer tidak ada yang beranjak dari tuntutan
nasional itu.
Setelah
jalan damai yang ditempuh selama satu dasawarsa belum berhasil membebaskan
Irian Barat, maka Pemerintah Indonesia memutuskan untuk menempuh jalan lain.
Dalam rangka itu, pada tahun 1957 dilancarkan aksi-aksi pembebasan Irian di
seluruh tanah air, yang dimulai dengan pengambil-alihan perusahaan Belanda di
Indonesia oleh kaum buruh dan karyawan. Untuk mencegah anarki dan menampung
aspirasi rakyat banyak, maka Kepala Staf Angkatan Darat, Jenderal Nasution
memutuskan untuk mengambil alih semua perusahaan milik Belanda dan
menyerahkannya kepada pemerintah.
Ketegangan
antara Indonesia dan Belanda mencapai puncaknya pada tanggal 17 Agus 1960. Pada
tahun itu Indonesia secara resmi memutus hubungan diplomatik dengan Pemerintah
Belanda.
Kemudian,
dalam sidang Majelis Umum PBB tahun 1961 kembali masalah Irian diperdebatkan.
Sekretaris
Jenderal PBB, U Thant menganjurkan kepada salah seorang diplomat Amerika
Serikat, Ellsworth Bunker untuk mengajukan usulan penyelesaian masalah Irian.
Inti dari usulan Bunker secara singkat adalah “agar pihak Belanda menyerahkan
kedaulatan Irian Barat kepada Republik Indonesia. Penyerahan itu dilakukan
melalui PBB dalam waktu dua tahun.”
Pemerintah
RI pada prinsipnya dapat menyetujui usulan tersebut dengan catatan agar waktu
penyerahan diperpendek. Namun pemerintah Belanda mempunyai pendapat sebaliknya.
Mereka mau melepaskan Irian dengan membentuk dulu perwakilan di bawah PBB untuk
kemudian membentuk Negara Papua.
Sikap
Belanda disamput oleh Indonesia dengan membulatkan tekad untuk mengadakan
perjuangan bersahabat. Presiden Soekarono memformulasikannya sebagai ”Politik
konfrontasi dengan uluran tangan. Palu godam disertai dengan ajakan
bersahabat.”
Usaha Pembebasan Irian Barat
di Bidang Militer
Dalam
rangka persiapan militer untuk merebut irian melalui jalur konfrontasi,
Pemerintah Indonesia mencari bantuan senjata ke luar negeri. Pada awalnya
senjata diharapkan diperoleh dari negara-negara Blok Barat, khususnya Amerika,
tetapi tidak berhasil. Kemudian usaha pembelian senjata dialihkan ke Uni
Soviet,
Pada
Desember 1960, Jenderal Nasution bertolak ke Moskow untuk mengadakan perjanjian
pembelian senjata. Kemudian pada tahun 1961, Jenderal Nasution mengunjungi
beberapa negara : India, Pakistan, Australia, Jerman, Prancis, Inggris dll
untuk mendengar sikap negara-negara itu, jika terjadi perang antara Indonesia
dengan Belanda.
Kesimpulan
yang diperoleh Kasad bahwa negara-negara tersebut tidak mempunyai keterikatan
dengan Belanda dalam bidang bantuan militer, meskipun negara-negara tersebut
menekankan supaya perang dihindari dan bahkan ada yang mendukung posisi Belanda.
Di
pihak lain, Belanda mulai menyadari apabila Irian Barat tidak segera diserahkan
kepada Indonesia, maka lawannya akan berusaha membebaskan Irian dengan kekuatan
militer.
Belanda
tidak tinggal diam melihat persiapan-persiapan yang dilakukan oleh Indonesia.
Awalnya mereka mengajukan protes kepada PBB dengan menuduh Indonesia melakukan
agresi. Selanjutnya Belanda memperkuat kedudukannya di Irian dengan
mendatangkan bantuan dan mengirimkan kapal perangnya ke perairan Irian di
antaranya kapal induk Karel Doorman.
Pada
tanggal 19 Desember 1961, pemerintah mengeluarkan Tri Komando Rakyat (Trikora)
yang berisi:
1. Gagalkan pembentukan
negara boneka Papua buatan Belanda.
2. Kibarkan Sang Merah
Putih di Irian Barat, tanah air Indonesia.
3. Bersiaplah untuk
mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan
bangsa.
Dengan
diucapkannya Trikora maka dimulailah konfrontasi melawan Belanda. Pada tanggal
2 Januari 1962, Presiden Soekarno mengeluarkan keputusan No. 1 tahun 1962 untuk
membentuk Komando Mandala Pembebasan Irian Barat.
Awalnya
Belanda meremehkan persiapan-persiapan Komando Mandala tersebut. Mereka
menganggap pasukan Indonesia tidak mungkin dapat masuk ke wilayah Irian. Akan
tetapi setelah operasi-operasi infiltrasi dari pihak Indonesia berhasil yang di
antaranya terbukti dengan jatuhnya Teminabuan ke tangan Indonesia, maka Belanda
akhirnya bersedia untuk duduk di meja perundingan. Tidak hanya Belanda, dunia
luar yang dulunya mendukung posisi Belanda di Forum PBB mulai mengerti bahwa
Indonesia tidak main-main.
Pemerintah
Belanda juga banyak mendapat tekanan dari Amerika Serikat untuk berunding.
Desakan ini untuk mencegah terseretnya Unni Soviet dan Amerika Serikat ke dalam
suatu konfrontasi langsung di Pasifik, di mana masing-masing pihak memberi bantuan
kepada Indonesia dan Belanda. Sehingga, pada tanggal 15 Agustus 1962,
ditandatangani suatu perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah
Belanda di New York.
Perjanjian
New York dibuat berdasarkan prinsip-prinsip yang diusulkan oleh Delegasi
Amerika Serikat, Ellsworth Bunker, yang oleh Sekretaris Jenderal PBB diminta
untuk menjadi penengah. Persoalan terpenting dari perjanjian ini adalah
mengenai penyerahan pemerintahan di Irian Barat dari pihak Kerajaan Belanda
kepada PBB. Untuk kepentingan tersebut maka dibentuklah United Nation Temporary
Excecutive Authority (UNTEA)
yang pada waktunya akan menyerahkan Irian Barat ke Indonesia sebelum tanggal 1
Mei 1963.
Sementara
Indonesia mendapat kewajiban untuk mengadakan Penentuan Pendapat Rakyat di
irian sebelum akhir 1969, dengan ketentuan bahwa: kedua belah pihak, Indonesia
dan Belanda, akan menerima hasil referendum itu. Dedangkan pemulihan
hubungan diplomatik keduanya akan dilakukan npada tahun 1963 itu juga, dengan
pembukaan Kedutaan Besar Indonesia di Den Haag dan Kedutaan Besar Belanda di
Jakarta.
Kondisi
Irian Barat sendiri sangat memprihatinkan selama berada di bawah Belanda. Tidak
ada warisan belanda yang bisa dipakai sebagai modal untuk membangun daerah itu.
Rakyat Irian sama sekali belum diajari untuk menghasilkanbarang-barang yang
mempunyai nilai jual, karena semua barang didatangkan dari luar negeri. Oleh
karena itu, pembangunan Irian menjadi salah satu tantangan negara yang masih
muda ini. Itukah sebabnya Presiden Soekarno mengatakan bahwa pembangunan Irian
termasuk ke dalam Trikora.
Operasi-Operasi Pembebasan
Irian Barat
Pada
tanggal 17 Agustus 1960, pemerintah Indonesia memutus hubungan diplomatik
dengan Belanda. Setelah Trikora diserukan Soekarno pada tanggal 18 Desember
1961 di Yogyakarta, selanjutnya diadakan rapat Dewan Pertahanan Nasional dan
Gabungan Kepala Staf serta Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat yang
memutuskan untuk membentuk:
1. Provinsi Irian Barat
gaya baru dengan putra Irian sebagai gubernurnya.
2. Komando Mandala yang
langsung memimpin kesatuan-kesatuan Abri dalam tugas merebut Irian Barat.
Pembentukan
Provinsi Irian Barat diputuskan melalui penetapan presinden No. 1/1962 dengan
ibukota baru Jayapura (pada masa Belanda dinamai Hollandia). Sesuai dengan Trikora
kesiapan di semua bidang diperkuat. Sistem gabungan kepala staf dan pimpinan
angkatan bersenjata berdiri langsung di bawah Panglima Tertinggi. Angkatan
Udara RI pada tanggal 10 Januari 1962 meresmikan pembentukan Komando Regional
Udara I-IV.
Selaku
Panglima Mandala ditunjuk Brigadir Jenderal Soeharto dan Komanda Mandala
berpusat di Makassar. Pada tanggal 13 Januari 1962, Brigjen Soeharto dilantik
menjadi panglima Mandala dan dinaikkan pangkatnya menjadi Mayor Jenderal. Di
samping sebagai Panglima Mandala, Soeharto juga merangkap sebagai Deputi Kasad
Wilayah Indonesia bagian Timur.
Pada
bulan Januari di tahun yang sama, juga ditetapkan susunan Komando Tertinggi
Pembebasan Irian Barat sebagai berikut:
1. Panglima Besar
Komando Tertingggi Pembebasan Irian Barat: Presiden Soekarno
2. Wakil Panglima Besar:
Jenderal A. H. Nasution
3. Kepala Staf: Mayor
Jenderal Ahmad Yani
Sementara
susunan Komando Mandala:
1.Panglima
Mandala: Mayor Jenderal Soeharto
2. Wakil Panglima I:
Kolonel Laut Subono
3. Wakil Panglima II:
Letkol Udara Leo Wattimena
4. Kepala Staf Umum,:
Kolonel Ahmad Tahir
Pada
tanggal 15 Januari 1962, terjadi peristiwa tragis yakni pertempuran Laut Aru.
Dalam pertempuran yang tidak seimbang antara MTB ALRI melawan kapal perusak dan
fregat belanda, gugur Deputi Kasal, Komodor Yos Sudarso.
Di
tengah situasi yang semakin memanas, Trikora diperjelas dengan instruksi
Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat No. 1 kepada Panglima
Mandala yang berisi:
1. Merencakan,
mempersiapkan dengan menyelenggarakan operasi-operasi militer, dengan tujuan
untuk mengembalikan wilayah provinsi Irian Barat ke dalam kekuasaan NKRI.
2. Mengembangkan situasi
di wilayah Provinsi Irian Barat
3. Sesuai dengan
taraf-taraf perjuangan di bidang diplomasi.
4. supaya dalam waktu
yang sesingkat-singkatnya di wilayah Provinsi Irian Barat dapat secara de facto menjadi
daerah-daerah bebas atau berada di bawah kekuasaan NKRI.
Untuk
melaksanakan instruksi itu, Panglima Mandala menyusun strategi yang dikenal
dengan sebutan Strategi Panglima Mandala. Untuk mencapai tujuan dari strategi
itu, maka penyelesaiin tugas dibagi ke beberapa fase.
Sampai
akhir tahun 1962, operasi difokuskan pada infiltrasi dengan memasukkan 10 kompi
ke sasaran-sasaran tertentu untuk menciptakan daerah bebas de facto yang
kokoh. Kesatuan-kesatuan ini juga harus mengembangkan penguasaan wilayah dengan
membawa serta rakyat Irian Barat.
Awal
tahun 1963, operasi mulai masuk ke fase eksploitasi dengan mengadakan serangan
terbuka terhadap pusat militer lawan, dan menduduki pos-pos pertahanan penting.
Selanjutnya
pada awal 1964, operasi akan memasuki fase konsolidasi dengan menempatkan
kekuasaan RI secara mutlak di seluruh Irian Barat.
Klimaks Pembebasan Irian
Barat
Hingga
triwulan ketiga 1962,terdapat perkembangan baru di bidang diplomasi, sehingga
jadwal penyelesaian tugas Operasi Mandala harus dipercepat enam bulan.
Infiltrasi melalui laut sebagian
telah tercium oleh musuh dan mengalami rintangan berat, mulai dari kapal-kapal
Belanda sampai ombak yan gtinggi. Pada bulan April 1962, dilakukan infiltrasi
dari udara. Dengan demikian sampai tanggal 15 Agustus telah diinfiltrasikan 10
kompi.
Sementara itu, telah dipersiapkan
pula operasi penentuan yang bernama Operasi Jaya Wijaya dengan target
pelaksanaan pada awal Agustus 1962. Tujuan dari operasi ini adalah untuk
merebut daerah Irian Barat. Operasi Jaya Wijaya dibagi atas Operasi Jaya Wijaya
I untuk merebut udara dan laut, Operasi Jaya Wijaya II bertujuan merebut Biak,
Operasi Jaya Wijaya III merebut Hollandia dari Laut, dan Operasi Jaya Wijaya IV
yang bertujuan merebut Hollandia dari udara.
Untuk melaksanakan operasi tersebut,
Angkatan Laut Mandala di bawah Kolonel Laut Sudomo membentuk Angkatan Tugas
Amfibi 17, yang terdiri dari tujuh gugus tugas, sedangkan Angkatan Udara membentuk
enam kesatuan tempur baru.
Akan tetapi sebelum Operasi Jaya
Wijaya ini dilaksanakan datanglah perintah dari Presiden untuk menghentikan
serangan pada tanggal 18 Agustus 1962.
Perintah presiden diikuti dengan
surat perintah Panglima Mandala yang ditujukan kepada seluruh pasukan dalam
jajaran Mandala yang berada di daerah Irian. Isi perintah panglima itu adalah:
agar semua pasukan mentaati perintah penghentian tembak-menembak dan mengadakan
kontak dengan perwira-perwira peninjau PBB.
Surat perintah presiden tersebut
dikeluarkan setelah menandatangani persetujuan antara pemerintah RI dan Belanda
mengenai Irian Barat di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 15
Agustus 1962. Berhasilnya Trikora adalah berkat kerjasama bidang militer dan diplomasi.
Diplomasi tanpa adanya dukungan militer akan sia-sia, seperti yang telah
dialami sebelum keluarnya Trikora.
Operasi terakhir yang dilaksanakan
adalah operasi Wisnu Murti yakni operasi menghadapi penyerahan Irian Barat
kepada pemerintah Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963. Dengan demikian, pada
tanggal 1 Mei 1963 tugas Komando Mandala telah selesai dan komando
tersebut secara resmi dibubarkan.
No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.