Total Pageviews

Tuesday, 5 December 2017

Pembebasan Irian Barat 1945-1963 M




Pembebasan Irian Barat 1945-1963 M



Pembebasan Irian Barat merupakan salah isu kedaulatan terbesar pada awal masa kemerdekaan Republik Indonesia. Konflik ini muncul ketika Belanda tidak bersedia untuk menyerahkan Irian Barat ke dalam bagian NKRI, dan memilih untuk menjadikan wilayah itu sebagai negara boneka. Konflik perebutan wilayah ini menguras banyak energi tokoh-tokoh NKRI untuk tetap menjaga kesatuan wilayahnya. Untuk mempertahankan Irian Barat, mereka berjuang melalui berbagai jalur mulai dari diplomasi hingga militer.


Latar Belakang Masalah Irian Barat


Pada awalnya, Irian Barat merupakan wilayah jajahan Belanda dan bagian dari kesatuan dari pulau-pulau lain di Indonesia dalam Hindia Belanda. Namun, ketika penyerahan kemerdekaan kepada RI, Irian Barat belum disertakan di dalamnya. Hal ini menyebabkan kepemilikan wilayah itu menjadi permasalahan antara RI dan Belanda, sehingga munculah upaya pembebasan Irian Barat dari tahu 1945-1963.

Dalam sidang BPUPKI ditegaskan bahwa wilayah Republik Indonesia mencakup seluruh wilayah bekas Hindia Belanda,  yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Oleh karena itu, ketika Indonesia merdeka maka Irian Barat sudah seharusnya ikut merdeka.

Namun, Belanda tidak mau mengakui kemerdekaan Indonesia, tetapi justru melakukan agresi ke NKRI, sehingga berkobarlah perang kemerdekaan (1945-1949). Akibat perjuangan Indonesia dan dukungan forum internasional, Belanda akhirnya mengakui kemerdekaan Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar pada tahun 1949.

Kendati Belanda telah mengakui, namun dalam penyerahan kedaulatan tersebut Irian Barat belum disertakan dan baru akan dirundingkan satu tahun kemudian.

Pada kenyataannya masalah Irian Barat tidak mudah untuk diselesaikan, karena Belanda tetap bersikeras mempertahankan wilayah itu. Oleh karena itu, tuntutan yang dilancarkan pihak Indonesia terus mengalami jalan buntu.

Meskipun mendapati jalan buntu, namun pemerintah Indonesia tidak putus asa. Sebagai solusi pertama, Indonesia menggunakan jalur diplomasi untuk merundingkan penyerahan Irian Barat ke Indonesia.

Perjuangan Pembebasan Irian Barat di Bidang Diplomasi


Setelah setahun, Irian masih tetap dikuasai oleh Belanda, dan usaha-usaha secara bilateral telah mengalami kegagalan, maka Pemerintah Indonesia sejak tahun 1954 membawa permasalah Irian ke dalam sidang Majelis Umum PBB. Persoalan Irian berulang kali dimasukkan ke dalam acara sidang Majelis Umum PBB, tetapi tidak pernah berhasil memperoleh tanggapan positif.

Pada sidang Majelis Umum tahun 1957, Menteri Luar Negeri Indonesia, Roeslan Abdulgani, menyatakan dalam pidatonya, ketika ikut dalam perdebatan bahwa Indonesia akan menempuh jalan lain yang tidak akan sampai kepada perang untuk menyelesaikan sengketa Irian dengan Belanda, jika sidang ke-12 PBB tidak berhasil menyetujui resolusi Irian Barat.

Sayangnya, pidato dari menteri luar negeri tidak dapat merubah pendirian negara-negara pendukung Belanda, sehingga resolusi yang disponsori 21 negara termasuk Indonesia tidak dapat dimenangkan karena tidak mencapai 2/3 suara. Negara-negara Barat masih kokoh mendukung posisi Belanda, malah sikap itu bertambah kuat dengan adanya Perang Dingin antara Blok Timur dan Barat. Dengan demikian pihak Belanda tetap tidak mau menyerahkan Irian Barat, bahkan mereka tidak mempunyai keinginan untuk membicarakannya lagi.

Pembebasan Irian Barat merupakan sebuah tuntutan nasional yang didukung oleh semua partai politik dan semua golongan. Tuntutan itu didasarkan atas pembukaan UUD 45; “Untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah  darah Indonesia”. Sementara Irian adalah bagian mutlak dari tumpah darah Indonesia. Itulah sebabnya, kabinet-kabinet pada sistem parlementer tidak ada yang beranjak dari tuntutan nasional itu.

Setelah jalan damai yang ditempuh selama satu dasawarsa belum berhasil membebaskan Irian Barat, maka Pemerintah Indonesia memutuskan untuk menempuh jalan lain. Dalam rangka itu, pada tahun 1957 dilancarkan aksi-aksi pembebasan Irian di seluruh tanah air, yang dimulai dengan pengambil-alihan perusahaan Belanda di Indonesia oleh kaum buruh dan karyawan. Untuk mencegah anarki dan menampung aspirasi rakyat banyak, maka Kepala Staf Angkatan Darat, Jenderal Nasution memutuskan untuk mengambil alih semua perusahaan milik Belanda dan menyerahkannya kepada pemerintah.

Ketegangan antara Indonesia dan Belanda mencapai puncaknya pada tanggal 17 Agus 1960. Pada tahun itu Indonesia secara resmi memutus hubungan diplomatik dengan Pemerintah Belanda.

Kemudian, dalam sidang Majelis Umum PBB tahun 1961 kembali masalah Irian diperdebatkan.

Sekretaris Jenderal PBB, U Thant menganjurkan kepada salah seorang diplomat Amerika Serikat, Ellsworth Bunker untuk mengajukan usulan penyelesaian masalah Irian. Inti dari usulan Bunker secara singkat adalah “agar pihak Belanda menyerahkan kedaulatan Irian Barat kepada Republik Indonesia. Penyerahan itu dilakukan melalui PBB dalam waktu dua tahun.”

Pemerintah RI pada prinsipnya dapat menyetujui usulan tersebut dengan catatan agar waktu penyerahan diperpendek. Namun pemerintah Belanda mempunyai pendapat sebaliknya. Mereka mau melepaskan Irian dengan membentuk dulu perwakilan di bawah PBB untuk kemudian membentuk Negara Papua.

Sikap Belanda disamput oleh Indonesia dengan membulatkan tekad untuk mengadakan perjuangan bersahabat. Presiden Soekarono memformulasikannya sebagai ”Politik konfrontasi dengan uluran tangan. Palu godam disertai dengan ajakan bersahabat.”


Usaha Pembebasan Irian Barat di Bidang Militer


Dalam rangka persiapan militer untuk merebut irian melalui jalur konfrontasi, Pemerintah Indonesia mencari bantuan senjata ke luar negeri. Pada awalnya senjata diharapkan diperoleh dari negara-negara Blok Barat, khususnya Amerika, tetapi tidak berhasil. Kemudian usaha pembelian senjata dialihkan ke Uni Soviet,

Pada Desember 1960, Jenderal Nasution bertolak ke Moskow untuk mengadakan perjanjian pembelian senjata. Kemudian pada tahun 1961, Jenderal Nasution mengunjungi beberapa negara : India, Pakistan, Australia, Jerman, Prancis, Inggris dll untuk mendengar sikap negara-negara itu, jika terjadi perang antara Indonesia dengan Belanda.

Kesimpulan yang diperoleh Kasad bahwa negara-negara tersebut tidak mempunyai keterikatan dengan Belanda dalam bidang bantuan militer, meskipun negara-negara tersebut menekankan supaya perang dihindari dan bahkan ada yang mendukung posisi Belanda.

Di pihak lain, Belanda mulai menyadari apabila Irian Barat tidak segera diserahkan kepada Indonesia, maka lawannya akan berusaha membebaskan Irian dengan kekuatan militer.

Belanda tidak tinggal diam melihat persiapan-persiapan yang dilakukan oleh Indonesia. Awalnya mereka mengajukan protes kepada PBB dengan menuduh Indonesia melakukan agresi. Selanjutnya Belanda memperkuat kedudukannya di Irian dengan mendatangkan bantuan dan mengirimkan kapal perangnya ke perairan Irian di antaranya kapal induk Karel Doorman.

Pada tanggal 19 Desember 1961, pemerintah mengeluarkan Tri Komando Rakyat (Trikora) yang berisi:
1. Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan Belanda.
2. Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat, tanah air Indonesia.
3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa.

Dengan diucapkannya Trikora maka dimulailah konfrontasi melawan Belanda. Pada tanggal 2 Januari 1962, Presiden Soekarno mengeluarkan keputusan No. 1 tahun 1962 untuk membentuk Komando Mandala Pembebasan Irian Barat.

Awalnya Belanda meremehkan persiapan-persiapan Komando Mandala tersebut. Mereka menganggap pasukan Indonesia tidak mungkin dapat masuk ke wilayah Irian. Akan tetapi setelah operasi-operasi infiltrasi dari pihak Indonesia berhasil yang di antaranya terbukti dengan jatuhnya Teminabuan ke tangan Indonesia, maka Belanda akhirnya bersedia untuk duduk di meja perundingan. Tidak hanya Belanda, dunia luar yang dulunya mendukung posisi Belanda di Forum PBB mulai mengerti bahwa Indonesia tidak main-main.

Pemerintah Belanda juga banyak mendapat tekanan dari Amerika Serikat untuk berunding. Desakan ini untuk mencegah terseretnya Unni Soviet dan Amerika Serikat ke dalam suatu konfrontasi langsung di Pasifik, di mana masing-masing pihak memberi bantuan kepada Indonesia dan Belanda. Sehingga, pada tanggal 15 Agustus 1962, ditandatangani suatu perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Belanda di New York.

Perjanjian New York dibuat berdasarkan prinsip-prinsip yang diusulkan oleh Delegasi Amerika Serikat, Ellsworth Bunker, yang oleh Sekretaris Jenderal PBB diminta untuk menjadi penengah. Persoalan terpenting dari perjanjian ini adalah mengenai penyerahan pemerintahan di Irian Barat dari pihak Kerajaan Belanda kepada PBB. Untuk kepentingan tersebut maka dibentuklah United Nation Temporary Excecutive Authority (UNTEA) yang pada waktunya akan menyerahkan Irian Barat ke Indonesia sebelum tanggal 1 Mei 1963.

Sementara Indonesia mendapat kewajiban untuk mengadakan Penentuan Pendapat Rakyat di irian sebelum akhir 1969, dengan ketentuan bahwa: kedua belah pihak, Indonesia dan Belanda, akan menerima hasil referendum itu.  Dedangkan pemulihan hubungan diplomatik keduanya akan dilakukan npada tahun 1963 itu juga, dengan pembukaan Kedutaan Besar Indonesia di Den Haag dan Kedutaan Besar Belanda di Jakarta.

Kondisi Irian Barat sendiri sangat memprihatinkan selama berada di bawah Belanda. Tidak ada warisan belanda yang bisa dipakai sebagai modal untuk membangun daerah itu. Rakyat Irian sama sekali belum diajari untuk menghasilkanbarang-barang yang mempunyai nilai jual, karena semua barang didatangkan dari luar negeri. Oleh karena itu, pembangunan Irian menjadi salah satu tantangan negara yang masih muda ini. Itukah sebabnya Presiden Soekarno mengatakan bahwa pembangunan Irian termasuk ke dalam Trikora.



Operasi-Operasi Pembebasan Irian Barat


Pada tanggal 17 Agustus 1960, pemerintah Indonesia memutus hubungan diplomatik dengan Belanda. Setelah Trikora diserukan Soekarno pada tanggal 18 Desember 1961 di Yogyakarta, selanjutnya diadakan rapat Dewan Pertahanan Nasional dan Gabungan Kepala Staf serta Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat yang memutuskan untuk membentuk:
1. Provinsi Irian Barat gaya baru dengan putra Irian sebagai gubernurnya.
2. Komando Mandala yang langsung memimpin kesatuan-kesatuan Abri dalam tugas merebut Irian Barat.

Pembentukan Provinsi Irian Barat diputuskan melalui penetapan presinden No. 1/1962 dengan ibukota baru Jayapura (pada masa Belanda dinamai Hollandia). Sesuai dengan Trikora kesiapan di semua bidang diperkuat. Sistem gabungan kepala staf dan pimpinan angkatan bersenjata berdiri langsung di bawah Panglima Tertinggi. Angkatan Udara RI pada tanggal 10 Januari 1962 meresmikan pembentukan Komando Regional Udara I-IV.

Selaku Panglima Mandala ditunjuk Brigadir Jenderal Soeharto dan Komanda Mandala berpusat di Makassar. Pada tanggal 13 Januari 1962, Brigjen Soeharto dilantik menjadi panglima Mandala dan dinaikkan pangkatnya menjadi Mayor Jenderal. Di samping sebagai Panglima Mandala, Soeharto juga merangkap sebagai Deputi Kasad Wilayah Indonesia bagian Timur.

Pada bulan Januari di tahun yang sama, juga ditetapkan susunan Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat sebagai berikut:
1. Panglima Besar Komando Tertingggi Pembebasan Irian Barat: Presiden Soekarno
2. Wakil Panglima Besar: Jenderal A. H. Nasution
3. Kepala Staf: Mayor Jenderal Ahmad Yani

Sementara susunan Komando Mandala:
1.Panglima Mandala: Mayor Jenderal Soeharto
2. Wakil Panglima I: Kolonel Laut Subono
3. Wakil Panglima II: Letkol Udara Leo Wattimena
4. Kepala Staf Umum,: Kolonel Ahmad Tahir

Pada tanggal 15 Januari 1962, terjadi peristiwa tragis yakni pertempuran Laut Aru. Dalam pertempuran yang tidak seimbang antara MTB ALRI melawan kapal perusak dan fregat belanda, gugur Deputi Kasal, Komodor Yos Sudarso.

Di tengah situasi yang semakin memanas, Trikora diperjelas dengan instruksi Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat No. 1 kepada Panglima Mandala yang berisi:
1. Merencakan, mempersiapkan dengan menyelenggarakan operasi-operasi militer, dengan tujuan untuk mengembalikan wilayah provinsi Irian Barat ke dalam kekuasaan NKRI.
2. Mengembangkan situasi di wilayah Provinsi Irian Barat
3. Sesuai dengan taraf-taraf perjuangan di bidang diplomasi.
4. supaya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya di wilayah Provinsi Irian Barat dapat secara de facto menjadi daerah-daerah bebas atau berada di bawah kekuasaan NKRI.

Untuk melaksanakan instruksi itu, Panglima Mandala menyusun strategi yang dikenal dengan sebutan Strategi Panglima Mandala. Untuk mencapai tujuan dari strategi itu, maka penyelesaiin tugas dibagi ke beberapa fase.

Sampai akhir tahun 1962, operasi difokuskan pada infiltrasi dengan memasukkan 10 kompi ke sasaran-sasaran tertentu untuk menciptakan daerah bebas de facto yang kokoh. Kesatuan-kesatuan ini juga harus mengembangkan penguasaan wilayah dengan membawa serta rakyat Irian Barat.

Awal tahun 1963, operasi mulai masuk ke fase eksploitasi dengan mengadakan serangan terbuka terhadap pusat militer lawan, dan menduduki pos-pos pertahanan penting.

Selanjutnya pada awal 1964, operasi akan memasuki fase konsolidasi dengan menempatkan kekuasaan RI secara mutlak di seluruh Irian Barat.


Klimaks Pembebasan Irian Barat


Hingga triwulan ketiga 1962,terdapat perkembangan baru di bidang diplomasi, sehingga jadwal penyelesaian tugas Operasi Mandala harus dipercepat enam bulan.

Infiltrasi melalui laut sebagian telah tercium oleh musuh dan mengalami rintangan berat, mulai dari kapal-kapal Belanda sampai ombak yan gtinggi. Pada bulan April 1962, dilakukan infiltrasi dari udara. Dengan demikian sampai tanggal 15 Agustus telah diinfiltrasikan 10 kompi.

Sementara itu, telah dipersiapkan pula operasi penentuan yang bernama Operasi Jaya Wijaya dengan target pelaksanaan pada awal Agustus 1962. Tujuan dari operasi ini adalah untuk merebut daerah Irian Barat. Operasi Jaya Wijaya dibagi atas Operasi Jaya Wijaya I untuk merebut udara dan laut, Operasi Jaya Wijaya II bertujuan merebut Biak, Operasi Jaya Wijaya III merebut Hollandia dari Laut, dan Operasi Jaya Wijaya IV yang bertujuan merebut Hollandia dari udara.

Untuk melaksanakan operasi tersebut, Angkatan Laut Mandala di bawah Kolonel Laut Sudomo membentuk Angkatan Tugas Amfibi 17, yang terdiri dari tujuh gugus tugas, sedangkan Angkatan Udara membentuk enam kesatuan tempur baru.

Akan tetapi sebelum Operasi Jaya Wijaya ini dilaksanakan datanglah perintah dari Presiden untuk menghentikan serangan pada tanggal 18 Agustus 1962.

Perintah presiden diikuti dengan surat perintah Panglima Mandala yang ditujukan kepada seluruh pasukan dalam jajaran Mandala yang berada di daerah Irian. Isi perintah panglima itu adalah: agar semua pasukan mentaati perintah penghentian tembak-menembak dan mengadakan kontak dengan perwira-perwira peninjau PBB.

Surat perintah presiden tersebut dikeluarkan setelah menandatangani persetujuan antara pemerintah RI dan Belanda mengenai Irian Barat di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 15 Agustus 1962. Berhasilnya Trikora adalah berkat kerjasama bidang militer dan diplomasi. Diplomasi tanpa adanya dukungan militer akan sia-sia, seperti yang telah dialami sebelum keluarnya Trikora.

Operasi terakhir yang dilaksanakan adalah operasi Wisnu Murti yakni operasi menghadapi penyerahan Irian Barat kepada pemerintah Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963. Dengan demikian, pada tanggal 1 Mei 1963 tugas Komando Mandala telah selesai  dan komando tersebut secara resmi dibubarkan.




No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.