Mengenang Ulama dan Pejuang Patani Tuan Guru Haji Sulong
15 Agustus 2017
https://www.kiblat.net/2017/08/15/mengenang-ulama-dan-pejuang-patani-tuan-guru-haji-sulong/
KIBLAT.NET – Bagi masyarakat Patani (Selatan
Thailand) tidak ada yang tidak mengetahui sosok pemilik nama lengkap Muhammad
bin Haji Abdul Qadir bin Muhammad bin Tuan Minal atau yang akrab dengan
panggilan Tuan Guru Haji Sulong (13 Agustus 1954 – 13 Agustus 2017), selain
dikenal sebagai ulama kharismatik, pakar dalam bidang tafsir dan ushuluddin.
Beliau juga dikenal sebagai sosok pejuang sejati yang sangat berani menabuh
genderang perlawanan dengan pemerintah Thailand.
Pria
kelahiran Kampung Anak Ru (sekarang masuk dalam wilayah Patani) pada tahun 1895
ini semenjak masa kanak-kanak sudah terlihat memiliki karakter yang berbeda
dengan kawan-kawan sebayanya, hal ini tentunya tidak lepas dari peran orang tua
yang senantiasa memberi perhatian, bimbingan serta kasih sayang kepada anak
laki-lakinya. Aktifitas Sulong kecil sama juga seperti anak-anak Patani pada
umumnya, beliau bermain dengan rekan-rekan sepermainan, mempelajari ilmu Agama
Islam sebagai modal hablum
minallah (berhubungan dengan Allah) dan hablum minannas (berhubungan dengan sesama
manusia).
Beranjak
usianya 12 tahun, beliau meninggalkan tanah air untuk menuntut ilmu ke Mekkah
al-Mukarrahmah yang kala itu menjadi kiblat umat Islam dalam pengembangan ilmu
pengetahuan. Disini beliau banyak mendapatkan pengetahuan baru yang belum
pernah didapatkan semasa di kampung halamannya, selama 20 tahun belajar di
Mekkah beliau dibekali oleh pengajar yang memiliki kapasitas keilmuwan mapan
dengan berbagai macam ilmu pengetahuan yang diajarkan, tidak hanya berkaitan
dengan ilmu ibadah murni (fiqih, tauhid dan tasawuf) beliau juga mempelajari
ilmu politik dan sastra Arab.
Setelah
melihat suasana Mekkah kian hari kian tidak kondusif pasca meletusnya perang
dunia pertama, akhirnya Haji Sulong membulatkan tekad untuk meninggakan Mekkah.
Sembari menunggu Mekkah kembali normal, beliau berkelana dan berdakwah ke berbagai
pelosok negeri, diantaranya ke Kamboja, Bangkok, Singapura, Malaysia, bahkan ke
Aceh, dan tujuan akhir ingin pulang ke kampung halamannya Patani.
Sambil
menyebarkan syiar, beliau juga memantau perkembangan Islam di berbagai daerah
termasuk kampung halamannya sendiri, dari hasil pantauan dapat disadari
ternyata umat Islam sedang mengalami stagnasi yang sangat luar biasa, menyikapi
hal tersebut Haji Sulong mulai mengurungkan niat untuk kembali ke Mekkah, dia
sudah berkomitmen penuh untuk menetap di Patani dengan tujuan ingin mengajak
umat Patani kembali ke arah yang lebih baik.
Dari itu, dia mulai membangun komunikasi secara intens
dengan tokoh-tokoh politik di luar negeri, Haji Sulong juga menularkan kepada
umat Patani semangat gerakan pan-Islamisme yang dipelopori oleh Jamaluddin al-
Afghani seorang tokoh pembaharuan Islam terkemuka, dilain sisi beliau juga
mendirikan sekolah berbasis pesantren yang diberi nama madrasah al-ma’arif
al-whataniyah, beberapa sejarawan melayu mengatakan bahwa sekolah yang
didirikan ini merupakan sekolah pertama di Patani yang mengkolaborasikan
pendidikan corak pesantren dengan pendidikan bercorak modern. Tidak hanya
memberikan perhatian di sektor pendidikan, Haji Sulong pada tahun 1939 juga
mendirikan lembaga politik dan hukum yang diberi nama al-Hai’ah al-Tanfiziah
lil-Ahkam al-Shar’iyyah, didirikan lembaga ini bertujuan untuk memberi
pemahaman kepada umat Islam Pattani tentang hukum dan politik menurut
perspektif Islam bukan menurut perspektif siam (Thailand).
Tujuh Tuntutan dan Agustus Kelam.
Di bawah pemerintahan Perdana Menteri Phibul Songkram,
intervensi terhadap masyarakarakat Patani semakin jelas, sekolah yang pernah
dibangun oleh Haji Sulong ditutup paksa oleh pemerintah, masyarakat Muslim
dikekang agar tunduk dengan konstitusi yang dirancang oleh pemerintah Thailand.
Hal itu sangat berlawanan dengan hati nurani Haji Sulong, sehingga beliau
menentang keras tindakan pemerintah tersebut, namun hasilnya belum berbuah
manis, dikarenakan tidak adanya balance of power antara masyakat Muslim
Selatan dengan pemerintah Thailand.
Setelah berakhir perang dunia Ke II yang mengakibatkan
Jepang kalah, Perdana Mentri Phibul Songkram yang kala itu memihak Jepang
akhirnya turut ikut terkena imbas, dia jatuh dari tampuk jabatan Perdana Mentri
Thailand. Setelah beberapa lama kemudian dipilihlah Pridi Pranomyong sebagai
Perdana Menteri yang baru.
Haji Sulong dan para pejuang melihat pergantian
perdana menteri tersebut sebagai sebuah peluang yang tepat untuk memperjuangkan
hak masyarakat Muslim Patani. Sebuah kongres agung pun dilaksanakan, seratus
ulama, tokoh adat, cendikia, dan para pemuda menghadiri kongres tersebut. Hasil
dari kongres melahirkan kesepakatan bersama yang termaktub kedalam tujuh
tuntutan kepada pemerintah Thailand. Adapun ketujuh tuntutan tersebut
adalah: Pertama, pengangkatan komisaris tertinggi Patani yang
berwenang untuk memecat, memberi skors kepada kekuasaan empat wilayah,
komisaris tersebut harus putra daerah yang dipilih melalui pemilihan umum.
Kedua, hasil kemakmuran di empat wilayah (Patani, Yala,
Narathiwat dan Satun) akan digunakan untuk kesejahteraan rakyat selatan. Ketiga,
bahasa melayu diizinkan sebagai mata pelajaran. Keempat, bahasa
melayu dijadikan bahasa resmi. Kelima, 80 % pejabat pemerintah keempat
wilayah harus direkrut dari orang lokal. Keenam, diizinkan hukum Islam
diterapkan di empat wilayah selatan, dan yang ketujuh, majelis Agama
Islam di tingkat provinsi diberi wewenang membuat perundang-undangan Islam.
(tujuh tuntutan dikutip dari bulletin Tunas persatuan mahasiswa Patani cabang
Aceh, edisi 1 tahun 2017).
Dianggap makar kepada pemerintah, Pada malam 13
Agustus 1954 Haji Sulong dan beberapa rekannya diundang pihak kerajaan Thailand
dengan dalih ingin melakukan pertemuan, setelah malam pertemuan tersebut tidak
lagi terdengar kabar Haji Sulong, beberapa hari kemudian barulah gempar
informasi seantero Patani tentang hilangnya ulama kharismatik tersebut. Menurut
beberapa literatur kemelayuan yang penulis dapatkan, bahwa pertemuan maut
tersebut sudah di setting sedemikian rupa, Haji Sulong dan rekannya dibunuh dan
ditenggelamkan ke laut oleh pihak Thailand sehingga mayatnya tidak pernah
ditemukan sampai saat ini.
Tanggal 13 Agustus (Black August) menjadi
tanggal duka bagi umat Patani, yang ditandai dengan wafatnya sang pejuang
sejati dari selatan. Dari beberapa hasil kajian, dapat kesimpulan bahwa Haji
Sulong adalah tokoh yang komplit yang menjalankan fungsi kepemimpinan secara
sempurna, beliau dikenal sebagai sosok penyelaras (aligning), perintis (pathfinding),
pemberdaya (empowering),dan panutan (modeling), selain
itu, dia sangat gigih dalam memperjuangkan identitas melayu Patani hingga akhir
hayatnya, sangat jarang kita menemukan sosok seperti ini.
Hari ini 13 Agustus bertepatan dengan moment 63 tahun
wafatnya Haji Sulong, bukan maksud ingin membuka tabir kelam akan tetapi sudah
sepatutnya bagi masyarakat Patani secara holistik mengikuti jejak langkah tuan
guru yang selalu mengamalkan konsep wathaniyah (cinta tanah air), serta
memposisikan kepentingan umat Patani menjadi urutan pertama dan utama.
Nilai-nilai “sulongisme” harus dipatrikan ke dalam sanubari terutama generasi
muda. Kita senantiasa mendoakan agar Allayarham Haji Sulong dan para syuhada
mendapat tempat yang mulia di sisiNya. Amiin ya Rabbal ‘alamiin.
Penulis: Amarullah Yacob, pemuda kelahiran
Pidie, Aceh. Pernah menjadi tim monitoring kegiatan mahasiswa Patani di
Aceh
No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.