Hasil
Campurtangan Inggeris
6 Kejahatan Ini Pernah
Inggris Lakukan terhadap Wilayah Koloninya
Terdapat sebuah pepatah yang mengatakan bahwa,
"Matahari tidak akan pernah terbenam di Kerajaan Inggris." Sebagai
kekaisaran terbesar sepanjang masa, Kerajaan atau Imperium Inggris memang
menjadi kekuatan global terkuat selama hampir dua abad terakhir.
Pada
masa kejayaannya di tahun 1922, Inggris memerintah lebih dari 458 juta orang,
dan menguasai wilayah seluas 13.012.000 mil persegi — hampir seperempat dari
total luas daratan Bumi.
Namun
terlepas dari pencapaian besar ini, Kerajaan Inggris juga memiliki andil dalam
setiap peristiwa buruk yang menimpa umat manusia di era modern. Meskipun tidak
bertanggung jawab secara langsung, campur tangan mereka terhadap masalah di
wilayah koloninya sering kali berakhir dengan bencana.
Berikut
6 kejahatan terburuk yang pernah Inggris perbuat terhadap wilayah koloninya.
1. Apartheid
Apartheid
adalah sistem segregasi rasial yang ditegakkan melalui undang-undang oleh
pemerintah Partai Nasional yang berkuasa di Afrika Selatan dari tahun 1948
hingga 1994. Hak-hak kulit hitam sebagai mayoritas dibatasi, dan supremasi
kulit putih sebagai minoritas tetap dipertahankan.
Inggris
memang melembagakan beberapa reformasi setelah berhasil merebut wilayah Cape
dari Belanda. Tetapi setelah memperoleh kontrol politik sepenuhnya, Inggris
justru membuat keputusan yang menghancurkan masyarakat asli Afrika Selatan.
Mereka
memberi Republik Boer — negara-negara di Afrika Selatan yang berisi orang
Belanda — lampu hijau untuk mencabut hak dari ras non-kulit putih. Sistem
apartheid memiliki dasar dalam Union Constitution, yang disetujui oleh
pemerintah Inggris.
Pada
tahun 1913, Native Land Act diberlakukan.
Dilansir dari laman Independent, peraturan ini
mendorong orang kulit hitam untuk keluar dari tanah milik mereka, dan
memindahkannya ke wilayah kumuh di pinggiran kota.
Apartheid
mungkin tidak akan pernah berakhir jika pemerintahan F.W. de Klerk tidak
mencabut larangan terhadap partai-partai politik Afrika, seperti Kongres Nasional
Afrika dan Kongres Pan Afrika. Peristiwa ini memuncak dalam pemilihan
demokratis multi-rasial pertama pada tahun 1994, yang dimenangkan oleh Kongres
Nasional Afrika yang dipimpin oleh Nelson Mandela.
2. Perdagangan Budak Trans-Atlantik
Inggris
memang tidak memulai perdagangan budak atau mengimpor budak ke wilayah
koloninya. Awalnya, pedagang Inggris hanya memasok budak untuk koloni Spanyol
dan Portugis. Tetapi lambat laun pedagang budak Inggris mulai memasok budak ke
koloni Inggris di Amerika Utara.
Catatan
pertama pendaratan budak Afrika di Amerika Utara terjadi pada tahun 1619 di
koloni Virginia. Pada tahun 1660-an, jumlah budak yang dibawa Inggris dari
Afrika rata-rata 6.700 orang per tahun.
Pada
1760-an, Inggris menjadi negara Eropa terbesar yang terlibat dalam perdagangan
budak, memiliki lebih dari lima puluh persen orang Afrika yang diangkut ke
Amerika.
Keterlibatan
Inggris dalam perdagangan budak berlangsung dari 1562 hingga penghapusan
perbudakan di Amerika Serikat pada 1865. Profesor Sejarah, David Richardson,
menghitung lebih dari 3,4 juta orang Afrika yang diangkut oleh kapal-kapal
Inggris ke Amerika selama masa ini.
Selain
menjadi pemain utama dalam perdagangan budak, Inggris juga mendukung
Konfederasi yang pro-perbudakan selama Perang Sipil Amerika. Bahkan jika
Konfederasi menang dalam pertempuran Antietam, Inggris akan memberikan dukungan
penuh kepada para pemberontak, dan mungkin memberi uang "tip" untuk
tentara Konfederasi.
Meskipun
Inggris menjadi salah satu negara pertama yang menghapus perbudakan, mereka
langsung menebus hilangnya tenaga manusia dengan mengekstraksi bahan mentah dan
sumber daya alam lain dari wilayah Afrika.
3. Mengeksploitasi sumber daya Afrika
Konferensi
Berlin pada tahun 1884-1885 memulai proses kolonisasi Afrika. Sebagai salah
satu negara imperialisme terkuat di Eropa, Inggris mulai membidik Mesir dan
Afrika Selatan untuk mempertahankan jalur komunikasinya dengan India.
Setelah
kedua daerah ini diamankan, kaum imperialis seperti Cecil Rhodes mendorong
akuisisi wilayah lebih lanjut, dengan tujuan membangun kereta api
Cape-to-Cairo. Inggris juga tertarik pada potensi wilayah yang kaya akan
mineral seperti Transvaal, tempat ditemukannya emas pada pertengahan 1880-an.
Mengutip
dari laman African Exponent, selama
dua puluh tahun terakhir di abad ke-19, Inggris menduduki atau mencaplok
wilayah yang menyumbang lebih dari tiga puluh dua persen populasi Afrika,
menjadikan Inggris sebagai negara Eropa paling dominan di benua itu.
Inggris
memang telah kehilangan cengkeramannya di benua Afrika pada 1965, tetapi
konsekuensi imperialisme yang ditimbulkannya masih sangat besar sampai saat
ini. Pertama, negara-negara pemukim seperti Kenya, Rhodesia, dan Afrika Selatan
sempat menjadi wilayah rawan konflik, sebelum akhirnya kembali distabilkan oleh
kaum nasionalis Afrika.
Kedua,
para pejabat dan diktator Afrika yang korup juga sering mendapatkan kekuasaan
untuk dirinya sendiri, dan terlalu menggantungkan ekonomi mereka kepada Barat.
Bahkan sampai saat ini, Afrika tetap menjadi wilayah yang paling tidak
berkembang di dunia, dengan kemiskinan dan kekurangan gizi yang semakin
merajalela.
Gagasan
bahwa orang Eropa ingin "membudayakan" Afrika adalah sebuah
kebohongan besar, dan mereka hanya memakainya sebagai sarana untuk membenarkan
eksploitasi terhadap benua tersebut.
4. Perang Candu
Melihat
keuntungan dari perdagangan dengan negara-negara Eropa, Kaisar Qing dari
Tiongkok mulai mengizinkan orang Eropa untuk berdagang di pelabuhan Kanton.
Hanya di sana dan hanya melalui pedagang Tiongkok yang berlisensi.
Tetapi
pada tahun 1839, Inggris, yang menjadi kelompok dagang dominan di Asia, mencoba
untuk mengubah aturan tersebut. Saat itu mereka sudah menemukan komoditi yang
pasti akan dibeli oleh orang Tionghoa, yaitu opium.
Tumbuh
secara legal di India, opium diselundupkan ke Tiongkok, di mana penggunaan dan
penjualannya menjadi ilegal setelah menyebabkan efek yang merusak pada
orang-orang Tionghoa.
Dengan
kontrolnya atas lautan, Inggris dengan mudah menutup pelabuhan-pelabuhan utama
Tiongkok dan memaksa mereka untuk bernegosiasi, mengawali dari apa yang dikenal
sebagai “seratus tahun penghinaan” bagi Tiongkok.
Tidak
puas dengan kesepakatan yang dihasilkan, Inggris mengirim pasukan kedua untuk
mengambil kota-kota pesisir Tiongkok, termasuk Shanghai. Perang Candu
berikutnya diselesaikan dengan todongan senjata.
Perjanjian
Nanjing setelahnya membuka lima pelabuhan bagi perdagangan internasional,
menetapkan tarif barang impor sebesar lima persen, memberlakukan ganti rugi dua
puluh satu juta ons perak pada Tiongkok untuk menutupi biaya perang Inggris,
dan menyerahkan pulau Hong Kong ke Kerajaan inggris.
Namun
perjanjian ini tetap tidak memuaskan kedua belah pihak. Antara tahun 1856 dan
1860, Inggris dan Prancis kembali menyerang Tiongkok. Tujuh belas ribu tentara
Inggris dan Prancis berhasil menduduki Beijing dan membakar istana Kekaisaran.
Perjanjian
lain terpaksa harus ditandatangani, memberi pedagang dan misionaris Eropa hak
istimewa yang lebih besar, dan memaksa Tiongkok untuk membuka beberapa kota
lagi untuk perdagangan luar negeri.
5. "Membuang" orang Yahudi ke
Palestina sehingga memicu konflik Arab-Israel
Setelah
mengalahkan Kekaisaran Ottoman dalam Perang Dunia I, Inggris tidak serta merta
membebaskan wilayah bekas kerajaan tersebut. Sebaliknya, mereka malah menjajah
wilayah Arab, di mana saat itu Inggris menerima Palestina, Yordania, dan Irak.
Banyak
pejabat Inggris — beberapa di antaranya anti-Semit — yang ingin mendirikan
negara Yahudi di Timur Tengah untuk mengusir orang-orang Yahudi keluar dari
Eropa.
Setelah
berabad-abad diasingkan dan mendapatkan perlakuan buruk dari bangsa Eropa,
banyak orang Yahudi mulai bermigrasi ke "tanah yang dijanjikan" atau
Judea kuno yang saat itu menjadi wilayah Palestina. Setelah Perang Dunia II,
migrasi ini semakin meningkat.
Pada
tahun 1947, Inggris memberi tahu niat mereka untuk menarik diri dari Palestina
pada tahun 1948. Pada November 1947, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa
mengeluarkan sebuah rencana untuk memecah Palestina menjadi dua negara yang
terpisah — satu Arab dan satu Yahudi.
Orang-orang
Yahudi menerima, tetapi orang-orang Arab menolak pembagian tersebut. Pada 14
Mei 1948, Inggris secara resmi pergi dari Palestina tanpa memberikan resolusi
untuk situasi tersebut. Pada hari yang sama, orang-orang Yahudi memproklamirkan
negara Israel di tanah Palestina.
Negara-negara
Arab yang marah segera menyerang negara Yahudi yang baru terbentuk itu, tetapi
Israel berhasil mengalahkan mereka dan justru semakin memperluas wilayahnya.
Sekitar sembilan ratus ribu pengungsi Arab melarikan diri atau diusir dari
wilayah bekas Palestina.
Perang
ini meninggalkan sentimen Arab terhadap Israel dan sekutu politiknya, Inggris
dan Amerika Serikat. Konflik Arab-Palestina telah memberikan kesenjangan yang
mendalam antara Timur dan Barat, dan antara Kristen-Yahudi di satu sisi dan
Islam di sisi lain.
Selain
itu, Israel telah dituduh melakukan kejahatan mulai dari membuldozer
rumah-rumah penduduk Palestina, hingga tindakan teror yang dilakukan oleh
pasukan Mossad mereka.
6. Segregasi terhadap wilayah India
Setelah
dua abad kolonialisme di India, pemerintah Partai Buruh Inggris menyetujui
kemerdekaan India setelah tahun 1945. Tetapi konflik antara nasionalis Hindu
dan Muslim menyebabkan bentrokan antara kedua komunitas tersebut pada tahun
1946.
Saat
itu Liga Muslim hanya menerima kemerdekaan Pakistan, dan raja muda terakhir
India, Lord Louis Mountbatten, mengusulkan pembagian wilayah. Kedua belah pihak
menerima, dan pada 14 Agustus 1947, seperlima umat manusia di dunia memperoleh
kemerdekaan politik.
Namun
kemerdekaan melalui partisi justru membawa tragedi. Dalam minggu-minggu
setelahnya, perselisihan komunal meledak menjadi pesta pora pembantaian dan
pengusiran massal dari masing-masing kelompok.
Ratusan
ribu orang Hindu dan Muslim dibantai, dan diperkirakan lima juta orang menjadi
pengungsi. Para pemimpin Partai Kongres India sama sekali tidak berdaya untuk
menghentikan kekerasan ini.
"Apa
yang harus dirayakan? Karena aku tidak melihat apa-apa selain sungai
darah." Seru Gandhi sehubungan dengan kemerdekaan tersebut. Pada Januari
1948, Gandhi sendiri ditembak mati oleh seorang fanatik Hindu yang percaya
bahwa ia terlalu toleran terhadap Muslim.
Setelah
diberikan kemerdekaan, hubungan antara India dan Pakistan tetap tegang hingga
hari ini. Pertempuran di wilayah Kashmir yang disengketakan berlanjut hingga
1949, dan pecah lagi pada tahun 1965-1966, 1971, dan 1999.
Yang
membuat konflik India-Pakistan semakin berbahaya adalah kedua belah pihak yang
sama-sama memakai senjata nuklir. Dengan prediksi bahwa Pakistan akan menjadi
negara yang kalah, ada kemungkinan besar genosida akan kembali meletus di abad
ke-21.
Nah,
itu tadi 6 kejahatan terburuk yang pernah Inggris perbuat terhadap wilayah
koloninya. Kolonialisme dan imperialisme tidak lagi memiliki tempat di dunia
ini, dan sebaik-baiknya Inggris sebagai negara imperialis, mereka tetap saja
ingin mengeruk kekayaan di wilayah koloninya; tidak kurang dan tidak lebih.
.
No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.