Total Pageviews

Wednesday, 14 August 2019

Hasil Campurtangan Inggeris




Hasil Campurtangan Inggeris




6 Kejahatan Ini Pernah Inggris Lakukan terhadap Wilayah Koloninya


Terdapat sebuah pepatah yang mengatakan bahwa, "Matahari tidak akan pernah terbenam di Kerajaan Inggris." Sebagai kekaisaran terbesar sepanjang masa, Kerajaan atau Imperium Inggris memang menjadi kekuatan global terkuat selama hampir dua abad terakhir.

Pada masa kejayaannya di tahun 1922, Inggris memerintah lebih dari 458 juta orang, dan menguasai wilayah seluas 13.012.000 mil persegi — hampir seperempat dari total luas daratan Bumi.
Namun terlepas dari pencapaian besar ini, Kerajaan Inggris juga memiliki andil dalam setiap peristiwa buruk yang menimpa umat manusia di era modern. Meskipun tidak bertanggung jawab secara langsung, campur tangan mereka terhadap masalah di wilayah koloninya sering kali berakhir dengan bencana.
Berikut 6 kejahatan terburuk yang pernah Inggris perbuat terhadap wilayah koloninya.

 

 

1. Apartheid


Apartheid adalah sistem segregasi rasial yang ditegakkan melalui undang-undang oleh pemerintah Partai Nasional yang berkuasa di Afrika Selatan dari tahun 1948 hingga 1994. Hak-hak kulit hitam sebagai mayoritas dibatasi, dan supremasi kulit putih sebagai minoritas tetap dipertahankan.
Inggris memang melembagakan beberapa reformasi setelah berhasil merebut wilayah Cape dari Belanda. Tetapi setelah memperoleh kontrol politik sepenuhnya, Inggris justru membuat keputusan yang menghancurkan masyarakat asli Afrika Selatan.
Mereka memberi Republik Boer — negara-negara di Afrika Selatan yang berisi orang Belanda — lampu hijau untuk mencabut hak dari ras non-kulit putih. Sistem apartheid memiliki dasar dalam Union Constitution, yang disetujui oleh pemerintah Inggris.
Pada tahun 1913, Native Land Act diberlakukan. Dilansir dari laman Independent, peraturan ini mendorong orang kulit hitam untuk keluar dari tanah milik mereka, dan memindahkannya ke wilayah kumuh di pinggiran kota.
Apartheid mungkin tidak akan pernah berakhir jika pemerintahan F.W. de Klerk tidak mencabut larangan terhadap partai-partai politik Afrika, seperti Kongres Nasional Afrika dan Kongres Pan Afrika. Peristiwa ini memuncak dalam pemilihan demokratis multi-rasial pertama pada tahun 1994, yang dimenangkan oleh Kongres Nasional Afrika yang dipimpin oleh Nelson Mandela.


2. Perdagangan Budak Trans-Atlantik


Inggris memang tidak memulai perdagangan budak atau mengimpor budak ke wilayah koloninya. Awalnya, pedagang Inggris hanya memasok budak untuk koloni Spanyol dan Portugis. Tetapi lambat laun pedagang budak Inggris mulai memasok budak ke koloni Inggris di Amerika Utara.
Catatan pertama pendaratan budak Afrika di Amerika Utara terjadi pada tahun 1619 di koloni Virginia. Pada tahun 1660-an, jumlah budak yang dibawa Inggris dari Afrika rata-rata 6.700 orang per tahun.
Pada 1760-an, Inggris menjadi negara Eropa terbesar yang terlibat dalam perdagangan budak, memiliki lebih dari lima puluh persen orang Afrika yang diangkut ke Amerika.
Keterlibatan Inggris dalam perdagangan budak berlangsung dari 1562 hingga penghapusan perbudakan di Amerika Serikat pada 1865. Profesor Sejarah, David Richardson, menghitung lebih dari 3,4 juta orang Afrika yang diangkut oleh kapal-kapal Inggris ke Amerika selama masa ini.
Selain menjadi pemain utama dalam perdagangan budak, Inggris juga mendukung Konfederasi yang pro-perbudakan selama Perang Sipil Amerika. Bahkan jika Konfederasi menang dalam pertempuran Antietam, Inggris akan memberikan dukungan penuh kepada para pemberontak, dan mungkin memberi uang "tip" untuk tentara Konfederasi.
Meskipun Inggris menjadi salah satu negara pertama yang menghapus perbudakan, mereka langsung menebus hilangnya tenaga manusia dengan mengekstraksi bahan mentah dan sumber daya alam lain dari wilayah Afrika.


3. Mengeksploitasi sumber daya Afrika


Konferensi Berlin pada tahun 1884-1885 memulai proses kolonisasi Afrika. Sebagai salah satu negara imperialisme terkuat di Eropa, Inggris mulai membidik Mesir dan Afrika Selatan untuk mempertahankan jalur komunikasinya dengan India.
Setelah kedua daerah ini diamankan, kaum imperialis seperti Cecil Rhodes mendorong akuisisi wilayah lebih lanjut, dengan tujuan membangun kereta api Cape-to-Cairo. Inggris juga tertarik pada potensi wilayah yang kaya akan mineral seperti Transvaal, tempat ditemukannya emas pada pertengahan 1880-an.
Mengutip dari laman African Exponent, selama dua puluh tahun terakhir di abad ke-19, Inggris menduduki atau mencaplok wilayah yang menyumbang lebih dari tiga puluh dua persen populasi Afrika, menjadikan Inggris sebagai negara Eropa paling dominan di benua itu.
Inggris memang telah kehilangan cengkeramannya di benua Afrika pada 1965, tetapi konsekuensi imperialisme yang ditimbulkannya masih sangat besar sampai saat ini. Pertama, negara-negara pemukim seperti Kenya, Rhodesia, dan Afrika Selatan sempat menjadi wilayah rawan konflik, sebelum akhirnya kembali distabilkan oleh kaum nasionalis Afrika.
Kedua, para pejabat dan diktator Afrika yang korup juga sering mendapatkan kekuasaan untuk dirinya sendiri, dan terlalu menggantungkan ekonomi mereka kepada Barat. Bahkan sampai saat ini, Afrika tetap menjadi wilayah yang paling tidak berkembang di dunia, dengan kemiskinan dan kekurangan gizi yang semakin merajalela.
Gagasan bahwa orang Eropa ingin "membudayakan" Afrika adalah sebuah kebohongan besar, dan mereka hanya memakainya sebagai sarana untuk membenarkan eksploitasi terhadap benua tersebut.


4. Perang Candu


Melihat keuntungan dari perdagangan dengan negara-negara Eropa, Kaisar Qing dari Tiongkok mulai mengizinkan orang Eropa untuk berdagang di pelabuhan Kanton. Hanya di sana dan hanya melalui pedagang Tiongkok yang berlisensi.
Tetapi pada tahun 1839, Inggris, yang menjadi kelompok dagang dominan di Asia, mencoba untuk mengubah aturan tersebut. Saat itu mereka sudah menemukan komoditi yang pasti akan dibeli oleh orang Tionghoa, yaitu opium.
Tumbuh secara legal di India, opium diselundupkan ke Tiongkok, di mana penggunaan dan penjualannya menjadi ilegal setelah menyebabkan efek yang merusak pada orang-orang Tionghoa.
Dengan kontrolnya atas lautan, Inggris dengan mudah menutup pelabuhan-pelabuhan utama Tiongkok dan memaksa mereka untuk bernegosiasi, mengawali dari apa yang dikenal sebagai “seratus tahun penghinaan” bagi Tiongkok.
Tidak puas dengan kesepakatan yang dihasilkan, Inggris mengirim pasukan kedua untuk mengambil kota-kota pesisir Tiongkok, termasuk Shanghai. Perang Candu berikutnya diselesaikan dengan todongan senjata.
Perjanjian Nanjing setelahnya membuka lima pelabuhan bagi perdagangan internasional, menetapkan tarif barang impor sebesar lima persen, memberlakukan ganti rugi dua puluh satu juta ons perak pada Tiongkok untuk menutupi biaya perang Inggris, dan menyerahkan pulau Hong Kong ke Kerajaan inggris.
Namun perjanjian ini tetap tidak memuaskan kedua belah pihak. Antara tahun 1856 dan 1860, Inggris dan Prancis kembali menyerang Tiongkok. Tujuh belas ribu tentara Inggris dan Prancis berhasil menduduki Beijing dan membakar istana Kekaisaran.
Perjanjian lain terpaksa harus ditandatangani, memberi pedagang dan misionaris Eropa hak istimewa yang lebih besar, dan memaksa Tiongkok untuk membuka beberapa kota lagi untuk perdagangan luar negeri.


5. "Membuang" orang Yahudi ke Palestina sehingga memicu konflik Arab-Israel


Setelah mengalahkan Kekaisaran Ottoman dalam Perang Dunia I, Inggris tidak serta merta membebaskan wilayah bekas kerajaan tersebut. Sebaliknya, mereka malah menjajah wilayah Arab, di mana saat itu Inggris menerima Palestina, Yordania, dan Irak.
Banyak pejabat Inggris — beberapa di antaranya anti-Semit — yang ingin mendirikan negara Yahudi di Timur Tengah untuk mengusir orang-orang Yahudi keluar dari Eropa.
Setelah berabad-abad diasingkan dan mendapatkan perlakuan buruk dari bangsa Eropa, banyak orang Yahudi mulai bermigrasi ke "tanah yang dijanjikan" atau Judea kuno yang saat itu menjadi wilayah Palestina. Setelah Perang Dunia II, migrasi ini semakin meningkat.
Pada tahun 1947, Inggris memberi tahu niat mereka untuk menarik diri dari Palestina pada tahun 1948. Pada November 1947, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan sebuah rencana untuk memecah Palestina menjadi dua negara yang terpisah — satu Arab dan satu Yahudi.
Orang-orang Yahudi menerima, tetapi orang-orang Arab menolak pembagian tersebut. Pada 14 Mei 1948, Inggris secara resmi pergi dari Palestina tanpa memberikan resolusi untuk situasi tersebut. Pada hari yang sama, orang-orang Yahudi memproklamirkan negara Israel di tanah Palestina.
Negara-negara Arab yang marah segera menyerang negara Yahudi yang baru terbentuk itu, tetapi Israel berhasil mengalahkan mereka dan justru semakin memperluas wilayahnya. Sekitar sembilan ratus ribu pengungsi Arab melarikan diri atau diusir dari wilayah bekas Palestina.
Perang ini meninggalkan sentimen Arab terhadap Israel dan sekutu politiknya, Inggris dan Amerika Serikat. Konflik Arab-Palestina telah memberikan kesenjangan yang mendalam antara Timur dan Barat, dan antara Kristen-Yahudi di satu sisi dan Islam di sisi lain.
Selain itu, Israel telah dituduh melakukan kejahatan mulai dari membuldozer rumah-rumah penduduk Palestina, hingga tindakan teror yang dilakukan oleh pasukan Mossad mereka.


6. Segregasi terhadap wilayah India


Setelah dua abad kolonialisme di India, pemerintah Partai Buruh Inggris menyetujui kemerdekaan India setelah tahun 1945. Tetapi konflik antara nasionalis Hindu dan Muslim menyebabkan bentrokan antara kedua komunitas tersebut pada tahun 1946.
Saat itu Liga Muslim hanya menerima kemerdekaan Pakistan, dan raja muda terakhir India, Lord Louis Mountbatten, mengusulkan pembagian wilayah. Kedua belah pihak menerima, dan pada 14 Agustus 1947, seperlima umat manusia di dunia memperoleh kemerdekaan politik.
Namun kemerdekaan melalui partisi justru membawa tragedi. Dalam minggu-minggu setelahnya, perselisihan komunal meledak menjadi pesta pora pembantaian dan pengusiran massal dari masing-masing kelompok.
Ratusan ribu orang Hindu dan Muslim dibantai, dan diperkirakan lima juta orang menjadi pengungsi. Para pemimpin Partai Kongres India sama sekali tidak berdaya untuk menghentikan kekerasan ini.
"Apa yang harus dirayakan? Karena aku tidak melihat apa-apa selain sungai darah." Seru Gandhi sehubungan dengan kemerdekaan tersebut. Pada Januari 1948, Gandhi sendiri ditembak mati oleh seorang fanatik Hindu yang percaya bahwa ia terlalu toleran terhadap Muslim.
Setelah diberikan kemerdekaan, hubungan antara India dan Pakistan tetap tegang hingga hari ini. Pertempuran di wilayah Kashmir yang disengketakan berlanjut hingga 1949, dan pecah lagi pada tahun 1965-1966, 1971, dan 1999.
Yang membuat konflik India-Pakistan semakin berbahaya adalah kedua belah pihak yang sama-sama memakai senjata nuklir. Dengan prediksi bahwa Pakistan akan menjadi negara yang kalah, ada kemungkinan besar genosida akan kembali meletus di abad ke-21.
Nah, itu tadi 6 kejahatan terburuk yang pernah Inggris perbuat terhadap wilayah koloninya. Kolonialisme dan imperialisme tidak lagi memiliki tempat di dunia ini, dan sebaik-baiknya Inggris sebagai negara imperialis, mereka tetap saja ingin mengeruk kekayaan di wilayah koloninya; tidak kurang dan tidak lebih.





.

No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.