Total Pageviews

Thursday, 18 January 2018

Sayur tercemar dengan Logam Berat




BAHAYA KONTAMINASI LOGAM BERAT DALAM SAYURAN DAN ALTERNATIF PENCEGAHAN CEMARANNYA



Widaningrum, Miskiyah dan Suismono Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian

ABSTRAK

Saat ini produk pangan mentah maupun matang banyak terpapar logam berat dalam jumlah dan tingkat yang cukup mengkhawatirkan, terutama di kota-kota besar dimana tingkat polusi oleh asap pabrik dan asap buangan kendaraan bermotor telah mencapai tingkat yang sangat tinggi serta konsumsi makanan yang dikemas dengan kemasan modern seperti kaleng telah umum dijumpai. Sayur-sayuran berdaun yang ditanam di pinggir jalan raya memiliki resiko terpapar logam berat yang cukup tinggi. Data terakhir pada caisim kandungan timbal (Pb) bisa mencapai 28,78 ppm. Jumlah ini jauh lebih tinggi dibanding dengan sayuran yang ditanam jauh dari jalan raya (±0-2 ppm), sedangkan batas aman residu Pb yang diperbolehkan oleh Ditjen POM pada makanan hanya 2 ppm. Pencemaran tersebut menyebabkan sebagian sayuran dapat mengandung logam berat yang membahayakan kesehatan, padahal sayuran merupakan menu sehari-hari di dalam diet orang Indonesia. Akumulasi logam berat di dalam tubuh manusia dalam jangka waktu yang lama dapat mengganggu sistem peredaran darah, urat syaraf dan kerja ginjal. Pada tingkat rumah tangga, penurunan jumlah residu logam berat yang terlanjur terdapat dalam sayuran dapat dilakukan dengan mencuci sayuran menggunakan sanitizer komersial atau memblansirnya dengan air mendidih selama 3-5 menit sebelum dikonsumsi atau diolah lebih lanjut. Para ibu rumah tangga juga sebaiknya tidak menggunakan peralatan masak yang dipatri dengan timbal dan membiasakan keluarga mengkonsumsi makanan yang mengandung serat tinggi. Penanganan pra panen dan pascapanen dapat dilakukan dengan pemakaian pupuk dan insektisida yang benar, melakukan cara pengangkutan yang baik selama distribusi sayuran, misalnya dengan menutup sayuran menggunakan terpal atau penutup yang aman agar sayuran terhindar dari kontaminasi logam berat dari debu kendaraan bermotor atau asap pabrik selama perjalanan menuju pasar atau konsumen.

Kata kunci: sayuran,logam berat, pencegahan

ABSTRACT.

Widaningrum, Miskiyah and Suismono. 2007. Prevention of Heavy Metals Contamination on Vegetables Consumption. Nowadays, our food products (raw or cooked) have been contaminated by such many heavy metals in worrying levels, especially in big cities where grade of pollution caused by manufacture and motorcycle muffler smoke has raised at very high level and consumption of canned foods has been generally founded. Vegetables which are planted near to the busy streets also have big risk to get contamination of heavy metals in high level (the latest data on caisim vegetable show that the vegetable contain Pb at 28.78 ppm) compared to those which are planted far away from the busy streets (± 0-2 ppm), meanwhile the safety allowance for Pb recidues on foods published by Ditjen POM is only 2 ppm. That contamination have caused vegetables contain heavy metals which is dangerous for human healthy, whereas in spite of that, vegetables have been daily menu in Indonesian diets. In the long term, accumulation in human body could disturb blood circulation system, neuropathy system and kidney work. In family level, reducing amount of heavy metal which has been too far exist on vegetables can be done by washing vegetables using commercially sanitizer or blanching them for 3-5 minutes before being eaten or to be processed furtherly. Housewives should not use kitchen equipment which still being soldered by Plumbum, and have our family always consume high fiber foods. In the pre and postharvest field, it can be done by using fertilizer and insecticides wisely, thus doing good distribution handling of vegetables by covering them with tarpaulin or other safety tools to avoid heavy metals contamination on vegetables during distribution from farm to market or consumers.

Keywords: vegetables,heavy metals, prevention



PENDAHULUAN

Aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhan kadang menghasilkan dampak terhadap lingkungan. Dampak tersebut dapat berupa dampak positif maupun negatif. Salah satu dampak negatif akibat aktivitas manusia adalah turunnya kualitas lingkungan hidup. Sebagai contoh turunnya kualitas tanah akibat pencemaran limbah yang dihasilkan oleh manusia, baik limbah rumah tangga, industri, maupun pertanian. Salah satu faktor pencemaran tanah yang paling penting adalah limbah logam berat. Logam berat merupakan istilah yang digunakan untuk unsur-unsur transisi yang mempunyai massa jenis atom lebih besar dari 6 g/cm3 . Merkuri (Hg), timbal (Pb), tembaga (Cu), kadmium (Cd) dan stronsium (Sr) adalah contoh logam berat yang berupa kontaminan yang berasal dari luar tanah dan sangat diperhatikan karena berhubungan erat dengan kesehatan manusia, pertanian dan ekotoksikologinya (Alloway, 1995) dalam Darmono (1995). Pangan yang dikonsumsi sehari-hari merupakan hasil pertanian. Pangan seharusnya memenuhi kriteria ASUH (Aman, Sehat, Utuh dan Halal). Salah satu parameter tersebut, yaitu Aman, termasuk dalam masalah mutu. Mutu dan keamanan pangan berpengaruh langsung terhadap kesehatan masyarakat dan perkembangan sosial. Makanan yang bermutu baik dan aman diperlukan untuk meningkatkan kesehatan, kesejahteraan individu dan kemakmuran masyarakat. Sayuran merupakan sumber pangan yang mengandung banyak vitamin dan mineral yang secara langsung berperan meningkatkan kesehatan. Oleh karena itu, higienitas dan keamanan sayuran yang dikonsumsi menjadi sangat penting agar tidak menimbulkan gangguan kesehatan. Namun banyak jenis sayuran yang beredar di masyarakat tidak terjamin keamanannya karena diduga telah terkontaminasi logam-logam berat seperti timbal (Pb), kadmium (Cd), atau merkuri (Hg). Menurut Astawan (2005), logam-logam berat tersebut bila masuk ke dalam tubuh lewat makanan akan terakumulasi secara terus-menerus dan dalam jangka waktu lama dapat mengakibatkan gangguan sistem syaraf, kelumpuhan, dan kematian dini serta penurunan tingkat kecerdasan anak-anak. Sumber kontaminasi logam berat ada dua, yaitu lewat pencemaran udara dan dari bahan makanan. Pencemaran lewat udara terutama berasal dari asap buangan kendaraan bermotor. Data yang dikeluarkan Badan Pengawasan Dampak Lingkungan (Bapedal) DKI tahun 1998, kadar timbal di udara Jakarta ratarata telah mencapai 0,5 mg per meter kubik udara. Untuk kawasan tertentu, seperti terminal bus dan daerah padat lalu lintas, kadar timbal bisa mencapai 2-8 mg per meter kubik udara (Astawan, 2005). Selain timbal (Pb), sayuran juga rentan terhadap kontaminasi logam berat tembaga (Cu). Cemaran tembaga (Cu) terdapat pada sayuran dan buah-buahan yang disemprot dengan pestisida secara berlebihan. Penyemprotan pestisida banyak dilakukan untuk membasmi siput dan cacing pada tanaman sayur dan buah. Selain itu, garam Cu juga digunakan sebagai bahan dari larutan “bordeaux” yang mengandung 1- 3% CuSO4 untuk membasmi jamur pada sayur dan tanaman buah. Senyawa CuSO4 juga sering digunakan untuk membasmi siput sebagai inang dari parasit, cacing dan untuk mengobati penyakit pada kuku domba (Darmono, 1995). Selain pada sayuran, logam berat dapat terakumulasi dalam jumlah yang cukup besar pada tanaman seperti padi, rumput, dan beberapa jenis leguminosa untuk pakan ternak. Kandungan merkuri (Hg) pada beras yang dipanen dari sawah dengan irigasi air limbah penambangan emas tradisional di Nunggul dan Kalongliud di sekitar Pongkor, Bogor, Jawa Barat, masing-masing mencapai 0,45 dan 0,25 ppm (Sutono, 2002) dalam Anonymous (2005). Mengingat bahayanya akumulasi logam berat dalam lingkungan dan efek buruknya pada kesehatan, konsumen perlu pengetahuan tentang logam berat, sumber dan distribusi logam berat di lingkungan, mekanisme kontaminasi logam berat pada tubuh manusia, serta cara pencegahan akumulasinya. KARAKTERISTIK LOGAM BERAT BERBAHAYA Menurut Suhendrayatna dalam Charlena (2004), ada beberapa logam berat yang berbahaya bila kadarnya dalam tubuh melebihi ambang batas yang diperbolehkan. Logam berat tersebut yaitu: 

1. Arsenik (As) Arsenik diakui sebagai komponen esensial bagi sebagian hewan dan tumbuh-tumbuhan, namun demikian arsenik lebih populer dikenal sabagai raja racun dibandingkan kapasitasnya sebagai komponen esensial. Pada permukaan bumi, arsenik berada pada urutan ke-20 sebagai elemen yang berbahaya, ke-14 di lautan, dan unsur ke-12 berbahaya bagi manusia. Senyawa ini labil dalam bentuk oksida dan tingkat racunnya sama seperti yang dimiliki oleh beberapa elemen lainnya, sangat tergantung pada bentuk struktur kimianya. Arsen anorganik seperti arsen pentaoksida memiliki sifat mudah larut dalam air, sedangkan arsen trioksida sukar larut di air, tetapi lebih mudah larut dalam lemak. Penyerapan melalui saluran pencernaan dipengaruhi oleh tingkat kelarutan dalam air, sehingga arsen pentaoksida lebih mudah diserap dibanding arsen trioksida. 

2. Kadmium (Cd) Kadmium (Cd) adalah logam kebiruan yang lunak, dan merupakan racun bagi tubuh manusia. Waktu paruhnya 30 tahun dan dapat terakumulasi pada ginjal, sehingga ginjal mengalami disfungsi. Jumlah normal kadmium di tanah berada di bawah 1 ppm, tetapi angka tertinggi (1700 ppm) dijumpai pada permukaan sampel tanah yang diambil di dekat pertambangan biji seng (Zn). Kadmium lebih mudah diakumulasi oleh tanaman dibandingkan dengan ion logam berat lainnya seperti timbal. Logam berat ini bergabung bersama timbal dan merkuri sebagai the big three heavy metal yang memiliki tingkat bahaya tertinggi pada kesehatan manusia. Menurut badan dunia FAO/ WHO, konsumsi per minggu yang ditoleransikan bagi manusia adalah 400-500 g per orang atau 7 mg per kg berat badan. Kadmium yang terdapat dalam tubuh manusia sebagian besar diperoleh melalui makanan dan tembakau, hanya sejumlah kecil berasal dari air minum dan polusi udara. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Laegreid (1999) dalam Charlene (2004), pemasukan Cd melalui makanan adalah 10-40 mg/ hari, sedikitnya 50% diserap oleh tubuh. 

3. Tembaga (Cu) Tembaga (Cu) bersifat racun terhadap semua tumbuhan pada konsentrasi larutan di atas 0,1 ppm. Konsentrasi yang aman bagi air minum manusia tidak lebih dari 1 ppm. Bersifat racun bagi domba pada konsentrasi di atas 20 ppm. Konsentrasi normal komponen ini di tanah berkisar 20 ppm dengan tingkat mobilitas sangat lambat karena ikatan yang sangat kuat dengan material organik dan mineral tanah liat. Kehadiran tembaga pada limbah industri biasanya dalam bentuk ion bivalen Cu(II) sebagai hydrolitic product. Beberapa industri seperti pewarnaan, kertas, minyak, industri pelapisan melepaskan sejumlah tembaga yang tidak diharapkan. Tembaga dalam konsentrasi tinggi (22-750 mg/kg tanah kering) dijumpai pada sedimen di laut Hongkong dan pada sejumlah pelabuhan-pelabuhan di Inggris. Cemaran logam tembaga pada bahan pangan pada awalnya terjadi karena penggunaan pupuk dan pestisida secara berlebihan. Meskipun demikian, pengaruh proses pengolahan akan dapat mempengaruhi status keberadaan tembaga tersebut dalam bahan pangan (Charlene, 2004). Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan (POM) RI telah menetapkan batas maksimum cemaran logam berat tembaga pada sayuran segar yaitu 50 ppm. Namun demikian, tembaga merupakan konstituen yang harus ada dalam makanan manusia dan dibutuhkan oleh tubuh (Acceptance Daily Intake/ADI = 0,05 mg/kg berat badan). Pada kadar ini tidak terjadi akumulasi pada tubuh manusia normal. Akan tetapi asupan dalam jumlah yang besar pada tubuh manusia dapat menyebabkan gejala-gejala yang akut (Astawan, 1995). 

4. Timbal (Pb) Timbal (Pb) sebagian besar diakumulasi oleh organ tanaman, yaitu daun, batang, akar dan akar umbiumbian (bawang merah). Perpindahan timbal dari tanah ke tanaman tergantung komposisi dan pH tanah. Konsentrasi timbal yang tinggi (100-1000 mg/ kg) akan mengakibatkan pengaruh toksik pada proses fotosintesis dan pertumbuhan. Timbal hanya mempengaruhi tanaman bila konsentrasinya tinggi (Anonymous, 1998 dalam Charlene, 2004). Tanaman dapat menyerap logam Pb pada saat kondisi kesuburan dan kandungan bahan organik tanah rendah. Pada keadaan ini logam berat Pb akan terlepas dari ikatan tanah dan berupa ion yang bergerak bebas pada larutan tanah. Jika logam lain tidak mampu menghambat keberadaannya, maka akan terjadi serapan Pb oleh akar tanaman. Timbal merupakan logam berat yang sangat beracun, dapat dideteksi secara praktis pada seluruh benda mati di lingkungan dan seluruh sistem biologis. Sumber utama timbal adalah makanan dan minuman. Komponen ini beracun terhadap seluruh aspek kehidupan. Timbal menunjukkan beracun pada sistem saraf, hemetologic, hemetotoxic dan mempengaruhi kerja ginjal. Rekomendasi dari WHO, logam berat Pb dapat ditoleransi dalam seminggu dengan takaran 50mg/kg berat badan untuk dewasa dan 25 mg/kg berat badan untuk bayi dan anak-anak. Mobilitas timbal di tanah dan tumbuhan cenderung lambat dengan kadar normalnya pada tumbuhan berkisar 0,5- 3 ppm. 5. Merkuri (Hg) Disebut juga air raksa, merkuri merupakan logam yang secara alami ada dan merupakan satu-satunya logam yang pada suhu kamar berwujud cair. Logam murninya berwarna keperakan, cairan tak berbau, dan mengkilap. Bila dipanaskan sampai suhu 357°C, Hg akan menguap. Selain untuk kegiatan penambangan emas, logam Hg juga digunakan dalam produksi gas klor dan soda kaustik, termometer, bahan tambal gigi, dan baterai. Keracunan merkuri pertama sekali dilaporkan terjadi di Minamata, Jepang pada tahun 1953. Kontaminasi serius juga pernah diukur di sungai Surabaya, Indonesia tahun 1996. Akibat kuatnya interaksi antara merkuri dan komponen tanah lainnya, penggantian bentuk merkuri dari satu bentuk ke bentuk lainnya selain gas biasanya sangat lambat. Proses methylisasi merkuri biasanya terjadi di alam pada kondisi terbatas, membentuk satu dari sekian banyak elemen berbahaya, karena dalam bentuk ini merkuri sangat mudah terakumulasi pada rantai makanan. Karena berbahaya, penggunaan fungisida alkylmerkuri dalam pembenihan tidak diijinkan di banyak negara. Kasus yang kedua yang terjadi di negara kita sendiri yaitu tercemarnya perairan di Teluk Buyat,
Manado sebagai akibat pembuangan limbah arsen (As) dan merkuri (Hg) yang dilakukan oleh PT. Newmont selama bertahun-tahun sehingga mengakibatkan tercemarnya ikan-ikan yang ada di perairan tersebut. Ikan-ikan tersebut dimakan oleh penduduk yang ada di sekitar daerah itu dan menyebabkan wabah neurologis yang tidak menular, yang sangat merugikan kesehatan serta menyengsarakan kesehatan masyarakat. Dalam kasus Buyat ini, logam berat merkuri (Hg) kemungkinan dapat berasal dari limbah proses pemisahan biji emas atau dari tanah bahan tambangnya sendiri yang sudah mengandung merkuri. Padahal banyak alternatif yang dapat digunakan untuk mengolah limbah yang mengandung logam berat, khususnya merkuri, diantaranya ialah dengan teknologi low temperature thermal desorption (LTTD) atau dengan teknologi Phytoremediation (Anonymous, 2004). 


SUMBER DAN DISTRIBUSI LOGAM BERAT DI LINGKUNGAN 

1. Pencemaran Logam Berat pada Tanah Tanah merupakan bagian dari siklus logam berat. Pembuangan limbah ke tanah apabila melebihi kemampuan tanah dalam mencerna limbah akan mengakibatkan pencemaran tanah. Jenis limbah yang berpotensi merusak lingkungan hidup adalah limbah yang termasuk dalam Bahan Beracun Berbahaya (B3) yang di dalamnya terdapat logamlogam berat. Subowo et al., (1999) menyatakan bahwa adanya logam berat dalam tanah pertanian dapat menurunkan produktivitas pertanian dan kualitas hasil pertanian selain dapat membahayakan kesehatan manusia melalui konsumsi pangan yang dihasilkan dari tanah yang tercemar logam berat tersebut. Kandungan logam berat di dalam tanah secara alamiah sangat rendah, kecuali tanah tersebut sudah tercemar (Tabel 1). Kandungan logam berat dalam tanah sangat berpengaruh terhadap kandungan logam
pada tanaman yang tumbuh di atasnya, kecuali terjadi interaksi di antara logam itu sehingga terjadi hambatan penyerapan logam tersebut oleh tanaman. Akumulasi logam dalam tanaman tidak hanya tergantung pada kandungan logam dalam tanah, tetapi juga tergantung pada unsur kimia tanah, jenis logam, pH tanah dan spesies tanaman yang sensitif terhadap logam berat tertentu (Darmono, 1995). Logam berat masuk ke lingkungan tanah melalui penggunaan bahan kimia yang langsung mengenai tanah, penimbunan debu, hujan atau pengendapan, pengikisan tanah dan limbah buangan. Menurut Darmono (1995), interaksi logam berat dan lingkungan tanah dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu: a) proses sorbsi atau desorbsi, b) difusi pencucian, dan c) degradasi. Unsur logam berat Kadmium (Cd) terdapat dalam tanah secara alami dengan kandungan rata-rata rendah yaitu 0,4 mg/kg tanah. Pada tanah yang bebas polusi kandungannya adalah 0,06-1,00 mg/kg tanah. Peningkatan kandungan kadmium dapat berasal dari asap kendaraan bermotor dan pupuk fosfat yang terakumulasi di tanah. Pada umumnya tanaman menyerap hanya sedikit (1-5%) larutan kadmium yang ditambahkan ke dalam tanah. Akumulasi dalam jangka waktu lama dapat meningkatkan kandungan kadmium dalam tanah dan tanaman yang sedang tumbuh. Sayuran mengakumulasi kadmium lebih banyak dibandingkan tanaman pangan yang lain. Kadmium sangat membahayakan kesehatan karena pengaruh racun akut dari unsur tersebut sangat buruk. Di antara penderita yang keracunan kadmium mengalami tekanan darah tinggi, kerusakan ginjal, kerusakan jaringan testicular, dan kerusakan sel-sel jaringan darah merah. Di Jepang kontaminasi kadmium pada beras yang berasal dari lahan sawah yang lama mengalami kekeringan telah menimbulkan penyakit itai-itai dengan gejala nyeri pada pinggang dan otot kaki (Subowo et al., 1999). Untuk meningkatkan hasil pertanian, penggunaan pupuk tidak dapat dihindari. Petani di daerah semakin banyak yang menggunakan obat-obatan pertanian untuk meningkatkan hasil produksinya tanpa mempertimbangkan akibat yang ditimbulkan pada tanaman dan lingkungan sekitarnya. Petani di daerah Brebes yang dikenal sebagai salah satu pusat produksi bawang merah di Jawa Tengah, cenderung menggunakan pupuk dan pestisida secara berlebihan (Sumarni dan Rosliani, 1996). Padahal adanya logam berat dalam tanah pertanian dapat menurunkan produktifitas pertanian dan kualitas hasil pertanian selain dapat membahayakan kesehatan manusia melalui konsumsi pangan yang dihasilkan dari tanah yang tercemar logam berat tersebut (Subowo et al., 1999). Secara bertahap pemakaian bahan agrokimia (pupuk dan pestisida) dalam sistem budidaya pertanian harus dikurangi, karena bahan agrokimia mengandung logam berat yang termasuk bahan beracun berbahaya (B3). Penggunaan bahan agrokimia yang tidak terkendali pada lahan pertanian terutama pada sayuran berdampak negatif antara lain meningkatnya resistensi hama atau penyakit tanaman, terbunuhnya musuh alami dan organisme yang berguna, serta terakumulasinya zat-zat kimia berbahaya dalam tanah (Sutamihardja & Rizal, 1985 dalam Charlene, 2004). 2. Pencemaran Logam Berat pada Tanaman Sayuran Logam berat telah banyak terdeteksi pada sayuran, terutama yang ditanam dekat dengan jalan raya dan rentan polusi udara, antara lain yang berasal dari asap pabrik serta asap kendaraan bermotor. Penelitian yang dilakukan Ayu (2002) menunjukkan bahwa pada komoditas kangkung dan bayam yang dijual di pasarpasar daerah Bogor mempunyai kadar timbal (Pb) di atas ambang batas cemaran logam sesuai yang ditetapkan Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan, yaitu 2 ppm. Kisaran kadar timbal (Pb) pada sampel kangkung < 0,01 ppm-3,12 ppm sedangkan kisaran timbal (Pb) pada sampel bayam < 0,01 ppm-3,38 ppm. Dalam kasus ini, jalur distribusi dan cara pengangkutan sangat berpengaruh terhadap bertambahnya kadar cemaran timbal (Pb). Pencemaran timbal (Pb) pada sayuran setelah pasca panen terjadi selama pengangkutan, penjualan, dan distribusi. Kadar logam berat tembaga (Cu) pada beberapa komoditas sayuran juga cukup tinggi, diantaranya adalah; kangkung mengandung tembaga pada kisaran 1,98 ppm-6,37 ppm, bayam 1,25 ppm-4,36 ppm, kol 4,16 ppm-8,88 ppm sedangkan daun singkong 4,58 ppm-8,75 ppm. Terkandungnya tembaga secara berlebihan pada sayuran disebabkan pemupukan yang berlebihan, pemakaian insektisida dan air irigasi yang tercemar limbah pabrik (Munarso et al., 2005). Pencemaran logam berat tembaga terjadi selama proses prapanen yaitu selama penanaman dan pemeliharaan, juga disebabkan pemakaian pupuk mikro yang mengandung tembaga. Di daerah sentra tanaman sayuran di Kabupaten Tegal dan Brebes, kandungan logam berat timbal (Pb) dan kadmium (Cd) dalam tanaman bawang merah masing-masing berkisar antara 0,41-5,71 ppm dan 0,05-0,34 ppm. Menurut kriteria Ditjen POM Depkes, pada kelompok sayuran, nilai ambang batas logam berat timbal adalah 0,24 ppm dan menurut Codex Alimentarius Commission (CAA), nilai ambang batas tembaga adalah 0,05 ppm. Dengan mengacu pada kriteria Ditjen POM Depkes dan CAA tersebut maka sebagian besar tanaman bawang merah sudah mengandung Pb diatas ambang batas, sedangkan untuk kandungan Cd, semua tanaman bawang merah sudah di ambang batas (Anonymous, 2005). Di luar negeri, seperti yang terjadi di areal sub urban Varanasi, India, diketahui bahwa kontaminasi logam berat kadmium (Cd), timbal (Pb) dan nikel (Ni) terdapat pada sayuran berdaun yaitu sayuran palak atau yang lebih dikenal dengan sayuran bayam (Beta vulgaris L. var All green H1) yang umum dikonsumsi oleh orang-orang urban di India, terutama orang-orang miskin. Penelitian Sharma et al., (2005) melaporkan bahwa selain pada sayuran tersebut, kontaminasi logam berat kadmium juga terdeteksi pada tanah yang diirigasi oleh air limbah pabrik yang belum mengalami perlakuan penjernihan. Pencemaran logam berat kadmium terjadi selama proses prapanen yaitu selama penanaman dan pemeliharaan. Pada komoditi sayuran biasanya disebabkan oleh pemakaian pupuk fosfat yang mengandung kadmium secara berlebihan dan pH tanah tempat tanam yang rendah sehingga mempertinggi kesediaan kadmium dalam tanah. Masih di area perindustrian Dinapur, Varanasi, India, dicobakan perlakuan air limbah dari industri yang sudah dan belum diberi perlakuan untuk irigasi pertanian selama sembilan bulan. Sampel yang diirigasi adalah sayuran palak, bayam, kubis, tomat, labu kuning, lobak dan gandum yang diambil dari daerah terkontaminasi dan daerah tidak terkontaminasi. Logam berat pada sayuran yang diambil dari daerah terkontaminasi lebih tinggi daripada yang diambil dari daerah yang tidak terkontaminasi. Kadmium (Cd) paling tinggi pada kubis (9,20 ppm) sedangkan timbal (Pb) pada kembang kol (25,98 ppm) dan Nikel (Ni) pada tumbuhan brinjal (20,94 ppm). Konsentrasi semua logam berat (Cd, Pb dan Ni) masih melebihi batasan yang diperbolehkan standar India pada semua jenis sayuran. Perbedaan akumulasi logam berat pada sayuran mungkin dapat disebabkan oleh perbedaan dalam sifat morpho-physiologis sayuran-sayuran tersebut (Singh et al., 2007). Di Zimbabwe, terdapat peningkatan kekhawatiran publik akan penanaman sayuran di atas tanah yang juga diirigasi dengan air limbah pabrik yang belum diberi perlakuan penjernihan atau diirigasi oleh endapan pembuangan kotoran yang dihasilkan pabrik. Di negara tersebut, kontaminasi logam berat tertinggi terdapat pada jagung dan sayuran berdaun yaitu tsunga. Pada daun tsunga, terdeteksi kontaminasi logam berat Cd sebanyak 3,68 ppm; Cu 111 ppm, Pb 6,77 ppm dan Zn 221 ppm padahal standar Uni Eropa untuk Cd adalah hanya 0,2 ppm; Cu 20 ppm; Pb 0,3 ppm dan Zn 50 ppm (United Kingdom Guidelines) (Muchuweti et al., 2004). Di Nigeria, efek penggunaan pestisida terhadap kandungan Cd, Pb dan Cu pada 2 spesies bayam (merah dan hijau) telah diukur. Akumulasi tertinggi terdapat pada daun dibandingkan pada batang dan akar. Pada bayam merah, kandungan Cd, Pb dan Cu berturut-turut adalah 6,8 ; 1,4 ; 18,6 kali lebih tinggi daripada maksimum tingkat yang dapat ditoleransi yaitu 30, 300, dan 100 mg/g. Sedangkan pada bayam hijau, kandungan Cd dan Cu adalah 4,9 dan 14,7 kali lebih tinggi daripada maksimum tingkat yang dapat ditoleransi (Chiroma et al., 2007). Konsentrasi Cd, Pb dan Cu pada daun, batang dan akar bayam merah yang menggunakan pestisida adalah 163%, 222%, 178%; 364%, 325%, 449%; dan 254%, 363%, 224% lebih tinggi daripada pada bayam yang tidak diberi pestisida. Untuk bayam hijau, kandungan Cd, Pb dan Cu pada daun, batang dan akar adalah 156%, 238%, 150%; 163%, 454%, 462%; 156%,407%, 346% lebih tinggi daripada yang tidak diberi pestisida. Di Tanzania, empat jenis logam berat (Cd, Co, Pb dan Zn) telah diukur dari beberapa jenis sayuran hijau yang ditanam di sepanjang aliran sungai Sinza dan Msimbazi. Alat yang digunakan adalah Atomic Absorption Spectrophotometry. Kontribusi sayursayuran tersebut terhadap asupan makanan seharihari juga diukur. Hasil menunjukkan kisaran berikut (dalam mg/100 g): 0,01-0,06 untuk cadmium (Cd); 0,25-1,60 untuk kobalt (Co); 0,19-0,66 untuk timbal (Pb); dan 1,48-4,93 untuk seng (Zn). Beberapa sayuran mengandung jumlah yang melebihi yang diperbolehkan FAO dan WHO untuk konsumsi manusia. Kontribusi asupan harian dari keempat logam berat tersebut ditemukan sebanyak 21,60 mg; 858,60 µg; 426,60 µg dan 3,65 mg (Bahemuka dan Mubofu, 1999). Survai lapangan juga telah dilakukan oleh Cui, et al., (2004) di area dekat lokasi peleburan logam di Nanning, China Selatan untuk menganalisis kontaminasi logam berat pada sampel tanah dan sayuran serta untuk mengevaluasi kemungkinan resiko kesehatan pada masyarakat melalui rantai makanan. Tingkat kontaminasi pada tanah dan sayuran telah diukur, dan diukur pula faktor transfer (TF) dari tanah ke tanaman sayuran serta risiko kesehatannya (indeks resiko, IR). Hasil menunjukkan bahwa kedua tanah dan sayuran dari desa 1 dan 2 (V1 dan V2, dengan jarak 1500 m dan 500 m dari lokasi peleburan logam) sangat terkontaminasi logam berat apabila dibandingkan dengan tanah dan sayuran di desa yang terletak 50 km dari lokasi peleburan logam. Nilai tengah konsentrasi Cd pada sayuran di kedua desa (V1 dan V2) adalah 0,15 ppm dan 0,24 ppm sedangkan konsentrasi Pb adalah 0,45 ppm dan 0,38 ppm. Asupan Cd dan Pb melalui sayuran yang dikonsumsi memiliki risiko kesehatan yang tinggi terhadap penduduk setempat. Indeks risiko (IR) yang terukur pada kedua desa adalah 3,87 ppm dan 7,42 ppm untuk Cd dan 1,44 ppm serta 13,5 ppm untuk Pb. Terpaparnya lingkungan dari logam berat diketahui sebagai faktor penyebab timbulnya kanker. Turkdogan et al., (2003) telah menginvestigasi tujuh tingkat logam berat yang berbeda-beda (Co, Cd, Pb, Zn, Mn, Ni dan Cu) pada sampel tanah, buah-buahan dan sayuran di wilayah Van sebelah selatan Turki dimana kanker gastrointestinal atas merupakan hal yang endemik. Kandungan logam berat pada sampel ditentukan dengan flame atomic absorption spectrometer. Di dalam tanah, empat jenis logam berat (Cd, Pb, Cu dan Co) ada pada konsentrasi dua sampai 50 kali lebih tinggi dibanding Zn. Sampel buah-buahan dan sayuran yang ditemukan mengandung 3,5 sampai 340 kali lebih tinggi kandungan Co, Cd, Pb, Mn, Ni dan Cu-nya dibanding Zn. Pada sampel tanah vulkanik, buah dan sayuran mengandung logam berat karsinogenik yang potensial dimana tingkay yang cukup tinggi tersebut berhubungan dengan tingginya prevalensi kanker gastrointestinal atas di region Van tersebut. Di China, Huludao Zinc Plant di Huludao City merupakan tempat peleburan logam berat seng (Zn) terbesar di Asia. Logam berat telah mengkontaminasi lingkungan sekelilingnya dengan serius. Telah diinvestigasi 20 jenis sayuran dan sampel tanah yang berhubungan dari delapan plot dekat Huludao Zinc Plant untuk menginvestigasi risiko kesehatan dari Hg, Pb, Cd, Zn, dan Cu terhadap penduduk di sekitar Huludao Zinc Plant di China via konsumsi sayuran. Nilai faktor transfer (TF) Hg, Pb, Cd, Zn dan Cu dari tanah ke sayuran dan nilai bahaya target (THQs) risiko kesehatan yang memungkinkan terhadap penduduk lokal melalui transfer rantai makanan dihitung (Zheng et al., 2007). Nilai TF logam berat dari tanah ke sayuran menurun menurut susunan Cd>Zn>Cu>Pb>Hg. Nilai TF logam berat pada daun lebih tinggi daripada jaringan lain. Asupan harian Hg, Pb, Cd, Zn dan Cu melalui konsumsi makanan adalah 1,322; 574,3; 301,4; 5263 dan 292,5 µg untuk dewasa dan 1,029; 446,8; 234,5; 4095 dan 227,6 mg untuk anak-anak yang tinggal di sekitar Huludao Zinc Plant. Hal ini sangat berpotensi menimbulkan risiko kesehatan, terutama untuk anak-anak, apabila nilai THQ Cd atau Pb lebih dari 1. Jumlah total logam THQs (TTHQs) yang berkaitan dengan konsumsi sayuran untuk dewasa dan anak-anak adalah 5,79-9,90; 7,6-13,0. Dari perbandingan TTHQs pada plot-plot sampel dari jarak yang berbeda dari Huludao Zinc Plant, terindikasi bahwa resiko kesehatan mereka yang tinggal dekat dengan Huludao Zinc Plant (< 500 m) adalah paling tinggi, dan pada jarak > 1000 m resiko kesehatannya cukup tinggi dibanding pada mereka yang tinggal dalam jarak 500-1000 m. Namun, penduduk yang tinggal dalam areal lokasi 500-1000 m dari Huludao Zinc Plant juga mempunyai resiko kesehatan yang cukup tinggi apabila memiliki nilai TTHQ lebih dari 1. Akumulasi logam berat yang berlebihan pada tanah pertanian dapat berakibat tidak hanya terhadap kontaminasi lingkungan tetapi yang lebih buruk adalah menyebabkan meningkatnya kadar logam berat pada hasil-hasil pertanian yang dipanen sehingga hal tersebut pada akhirnya berakibat terhadap penurunan mutu dan keamanan pangan nabati yang dihasilkan. Untuk melindungi konsumen, beberapa negara telah menetapkan batas aman cemaran logam berat pada makanan, seperti dapat dilihat pada Tabel 2. Di Indonesia, Ditjen POM telah mengeluarkan Keputusan No. 03725/B/SK/VII/89 tentang Batas Maksimum Cemaran Logam dalam Makanan untuk Sayuran Segar, batas aman untuk Pb 2 mg/kg dan Cu 50mg/kg. 


MEKANISME KONTAMINASI LOGAM BERAT 

Beberapa faktor yang menyebabkan kontaminasi logam berat pada lingkungan bervariasi antara lain: kondisi geologi tanah dimana tanaman dibudidayakan, kondisi air yang digunakan untuk penyiraman, adanya kontaminan logam berat tertentu yang berasal dari industri apabila lokasi pertanaman dekat dengan lokasi industri, bahkan bencana yang tidak terduga. Seperti kasus yang saat ini sudah dan masih terjadi yaitu meluapnya lumpur panas di kawasan industri di daerah Porong, Sidoarjo Jawa Timur. Meluapnya lumpur panas dari lapangan gas yang dikelola Lapindo Brantas Inc tersebut mengandung logam berat yang berlebihan sehingga jika masuk ke tambak akan mematikan mikroorganisme. Menurut Anonymous (2006), dilaporkan bahwa bahan lumpur panas tersebut terdeteksi mengandung gas belerang (H2 S), metana (CH4 ), Chlorida (Cl) dan Sulfat (SO4 ) yang tinggi. Selain itu uji laboratoris juga menunjukkan adanya unsur pencemaran akibat adanya beberapa bahan lainnya yang cukup tinggi seperti Mangan (Mg) dan Seng (Zn). Tanah pertanian yang ada di sekitar daerah tersebut tertutupi oleh lumpur panas yang disinyalir mengandung logam berat dalam konsentrasi yang tinggi, sehingga di masa mendatang apabila lumpur panas sudah mereda, yang tertinggal adalah tanah yang sudah terkontaminasi logam berat dan tanaman pangan yang mungkin tumbuh di atasnya adalah bahan pangan yang telah tercemar logam berat. Faktor yang menyebabkan tingginya kontaminasi logam berat di lingkungan adalah perilaku manusia yang menciptakan teknologi tanpa menimbang terlebih dahulu efek yang akan ditimbulkan bagi lingkungan di kemudian hari. Sebagai contoh, di Indonesia, tingginya kandungan timbal (Pb) pada lingkungan disebabkan oleh pemakaian bensin bertimbal yang sangat tinggi pada hampir semua jenis kendaraan bermotor. Untuk mempermudah bensin premium terbakar, titik bakarnya harus diturunkan melalui peningkatan bilangan oktan dengan penambahan timbal dalam bentuk tetrail lead (TEL). Namun dalam proses pembakaran, timbal dilepas kembali bersama-sama sisa pembakaran lainnya ke udara dan dihirup oleh manusia saat bernafas. Moshman (1997) dalam Charlena (2004) mengungkapkan bahwa akumulasi logam berat Pb pada tubuh manusia yang terus-menerus dapat mengakibatkan anemia, kemandulan, penyakit ginjal, kerusakan syaraf dan kematian. Sedangkan keracunan Cd dapat menyebabkan tekanan darah tinggi, kerusakan jaringan-jaringan testicular, kerusakan ginjal dan kerusakan butir-butir sel darah merah. 


1. Mekanisme pada Bahan Pangan (Sayuran) Logam berat yang ada di lingkungan, tanah, air dan udara dengan suatu mekanisme tertentu masuk ke dalam tubuh makhluk hidup. Tanaman yang menjadi mediator penyebaran logam berat pada makhluk hidup, menyerap logam berat melalui akar dan daun (stomata). Logam berat terserap ke dalam jaringan tanaman melalui akar, yang selanjutnya akan masuk ke dalam siklus rantai makanan (Alloway, 1990 dalam Darmono, 2005). Di Indonesia, kadar logam berat yang cukup tinggi pada sayuran sudah semestinya mendapat perhatian serius dari semua pihak, terutama pada sayur-sayuran yang ditanam di pinggir jalan raya. Data terakhir pada sayuran caisim, kandungan logam berat Pb-nya bisa mencapai 28,78 ppm. Jumlah ini jauh lebih tinggi dibanding kandungan logam berat pada sayuran yang ditanam jauh dari jalan raya (±0-2 ppm), padahal batas aman yang diperbolehkan oleh Ditjen POM hanya 2 ppm. Bahkan dalam Rancangan Standar Nasional Indonesia (RSNI-2, 2004) dalam Anonymous (2004) menyatakan bahwa residu logam berat yang masih memenuhi standar BMR (Batas Maksimum Residu) adalah 1,0 ppm. Dengan dikonsumsinya sayuran sebagai salah satu sumber pangan pada manusia dan hewan menyebabkan berpindahnya logam berat yang dikandung oleh sayur-sayuran tersebut seperti timbal (Pb) dan kadmium (Cd) ke dalam tubuh makhluk hidup lainnya. Logam berat yang masuk ke dalam tubuh manusia akan melakukan interaksi antara lain dengan enzim, protein, DNA, serta metabolit lainnya. Adanya logam berat pada jumlah yang berlebihan dalam tubuh akan berpengaruh buruk terhadap tubuh (Charlena, 2004). 


2. Mekanisme pada Tubuh Manusia Sejumlah sumber makanan, baik yang berasal dari laut seperti ikan, kerang, dan rumput laut serta dari tanaman dan produk turunannya dapat terkontaminasi logam berat. Logam berat dapat memasuki tubuh dan mengakibatkan kerusakan pada berbagai jaringan tubuh melalui beberapa cara. Mekanisme pertama adalah berikatan dengan gugus sulfhidril, sehingga fungsi enzim pada jaringan tubuh akan terganggu kerjanya. Mekanisme yang kedua adalah berikatan dengan enzim pada siklus Krebs, sehingga proses oksidasi fosforilasi tidak terjadi. Mekanisme yang ketiga adalah dengan efek langsung pada jaringan yang terkena yang menyebabkan kematian (nekrosis) pada lambung dan saluran pencernaan, kerusakan pembuluh darah, perubahan degenerasi pada hati dan ginjal. Tubuh dapat menyerap logam berat melalui permukaan kulit dan mukosa, saluran pencernaan dan saluran nafas. Akumulasi pada jaringan tubuh dapat menimbulkan keracunan bagi manusia, hewan, dan tumbuhan apabila melebihi batas toleransi (Charlena, 2004). 


GEJALA KERACUNAN LOGAM BERAT 

Beberapa gejala keracunan logam berat berdasarkan jenis logam beratnya adalah sebagai berikut: 


1. Arsen (As) Keracunan arsen berdasar waktu dan dosisnya dapat dibedakan menjadi dua yaitu keracunan akut dan keracunan kronis. Keracunan arsen secara akut biasanya terjadi apabila dosis arsen yang memasuki tubuh dalam jumlah besar (dosis sekitar 130-300 mg), sehingga gejala keracunannya akan muncul segera setelah terpapar arsen. Keracunan kronis terjadi apabila seseorang terpapar arsen dalam dosis yang kecil, namun terjadi dalam jangka waktu yang lama (minimal sekitar 2-8 minggu). Gejala keracunan arsen secara akut pada saluran pencernaan berupa adanya rasa terbakar di tenggorokan, sukar menelan, mual, muntah, diare serta rasa nyeri yang sangat pada perut. Pada sistem kardiorespirasi akan muncul gejala nafas berbau bawang putih, kulit kebiruan (sianosis), rasa sukar bernafas, serta turunnya tekanan darah (hipotensi) akibat dari peningkatan kebocoran pembuluh darah. Gejala keracunan arsen pada sistem saraf yaitu mulai dari penurunan kesadaran, koma, dan sampai kejang. Adanya kerusakan ginjal secara akut, dehidrasi akibat muntah dan diare, serta hemolisis darah akan dapat menimbulkan shock yang fatal. Jika tidak mendapat pertolongan yang sesuai maka kondisi ini dapat mengakibatkan kematian mendadak (Anonymous, 2005). 


2. Kadmium (Cd) Kadmium merupakan salah satu jenis logam berat yang berbahaya karena elemen ini beresiko tinggi terhadap pembuluh darah. Waktu paruh kadmium 10-30 tahun. Akumulasi pada ginjal dan hati 10-100 kali konsentrasi pada jaringan yang lain. Menurut Sudarmadji (2006), dalam tubuh manusia kadmium terutama dieliminasi melalui urin. Hanya sedikit yang diabsorbsi, yaitu sekitar 5-10%. Absorbsi dipengaruhi faktor diet seperti intake protein, kalsium, vitmin D dan trace logam seperti seng (Zn). Proporsi yang besar adalah absorbsi melalui pernafasan yaitu antara 10-40% tergantung keadaan fisik. Uap kadmium sangat toksis dengan lethal dose melalui pernafasan diperkirakan 10 menit terpapar sampai dengan 190 mg/m3 atau sekitar 8 mg/m3 selama 240 menit akan dapat menimbulkan kematian. Gejala umum keracunan Cd adalah sakit di dada, nafas sesak (pendek), batuk-batuk dan lemah. Terpapar akut oleh kadmium (Cd) menyebabkan gejala nausea (mual), muntah, diare, kram otot, anemia, dermatitis, pertumbuhan lambat, kerusakan ginjal dan hati, dan gangguan kardiovaskuler, emphysema dan degenerasi testicular. Perkiraan dosis mematikan akut adalah sekitar 500 mg/kg untuk dewasa dan efek dosis akan nampak jika terabsorbsi 0,043 mg/kg per hari. Gejala akut keracunan Cd adalah sesak dada, kerongkongan kering dan dada terasa sesak, nafas pendek, nafas terengah-engah, distress dan bisa berkembang ke arah penyakit radang paru-paru, sakit kepala dan menggigil, bahkan dapat diikuti dengan kematian. Gejala kronis keracunan Cd yaitu nafas pendek, kemampuan mencium bau menurun, berat badan menurun, gigi terasa ngilu dan berwarna kuning keemasan. 


3. Tembaga (Cu) Toksisitas logam tembaga pada manusia, khususnya anak-anak biasanya terjadi karena tembaga sulfat. Beberapa gejala keracunan tembaga adalah sakit perut, mual, muntah, diare dan beberapa kasus yang parah dapat menyebabkan gagal ginjal dan kematian (Darmono, 2001 dalam Ayu, 2002). Penyakit wilson merupakan penyakit keturunan dimana sejumlah tembaga terkumpul dalam jaringan dan menyebabkan kerusakan jaringan yang luas. Penyakit ini terjadi pada satu diantara 30.000 orang. Hati tidak dapat mengeluarkan tembaga ke dalam darah atau ke dalam empedu. Sebagai akibatnya, kadar tembaga dalam darah rendah, tetapi tembaga terkumpul dalam otak, mata dan hati, dan menyebabkan sirosis. Pengumpulan tembaga dalam kornea mata menyebabkan terjadinya cincin emas atau emas-kehijauan. Gejala awal biasanya merupakan akibat dari kerusakan otak yang berupa tremor (gemetaran), sakit kepala, sulit berbicara, hilangnya koordinasi dan psikosa (Anonymous, 2006). 


4. Timbal (Pb) Menurut Charlene (2004), di dalam tubuh manusia timbal masuk melalui saluran pernafasan atau saluran pencernaan menuju sistem peredaran darah kemudian menyebar ke berbagai jaringan lain seperti ginjal, hati, otak, saraf dan tulang. Keracunan timbal pada orang dewasa ditandai dengan gejala 3 P yaitu pallor (pucat), pain (sakit), dan paralysis (kelumpuhan). Keracunan yang terjadi bisa bersifat kronik dan akut. Pada keracunan kronik, mula-mula logam berat tidak menyebabkan gangguan kesehatan yang tampak, tetapi makin lama efek toksik makin menumpuk hingga akhirnya terjadi gejala keracunan. Keracunan timbal kronik ditandai dengan depresi, sakit kepala, sulit berkonsentrasi, daya ingat terganggu, dan sulit tidur. Sedangkan keracunan akut terjadi jika timbal masuk ke dalam tubuh seseorang lewat makanan atau menghirup uap timbal dalam waktu yang relatif pendek dengan dosis atau kadar yang relatif tinggi. Gejala yang timbul berupa mual, muntah, sakit perut hebat, kelainan fungsi otak, anemia berat, kerusakan ginjal, bahkan kematian dapat terjadi dalam waktu 1-2 hari. Kasus kematian dini, menurut Resosudarmo (1996) dalam Anonymous (2000), terjadi di beberapa kota. Di Jakarta misalnya, pada tahun 1996 terdapat 223 kasus, Bandung 228 kasus, dan Surabaya 216 kasus. Semuanya disebabkan oleh timbal dari asap kendaraan bermotor yang ada di udara. Keracunan timbal pada anak-anak dapat mengurangi kecerdasan. Bila kadar timbal dalam darah mencapai tiga kali batas normal (asupan normal sekitar 0,3 mg perhari) maka akan menyebabkan penurunan kecerdasan intelektual (IQ) di bawah 80. Kelainan fungsi otak terjadi karena timbal secara kompetitif menggantikan peranan mineral-mineral utama seperti seng, tembaga, dan besi dalam mengatur fungsi sistem saraf pusat. Kedaan ini akan mengurangi peluang bagi anak untuk berhasil dalam sekolahnya. Dampak lebih jauh apabila tidak ada pengendalian polusi udara di perkotaan, suatu saat nanti anak-anak di desa akan lebih pintar daripada anak-anak yang dibesarkan di kota-kota besar. Suatu studi lain melaporkan, kadar timbal dalam ASI (Air Susu Ibu) dari ibu-ibu yang bertempat tinggal di kota besar jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yang tinggal di pedesaan yaitu masing-masing 1-30 mg per kg berat badan dan 1-2 mg per kg. Fenomena ini menjadi ancaman buruk bagi kecerdasan anakanak, yang seharusnya dibangun sejak anak masih di dalam rahim ibunya hingga usia lima tahun (Astawan, 2005). Qomaruddin dan Rahmah (2003) dalam laporannya menyatakan bahwa logam berat merkuri (Hg) dan timbal (Pb) ditemukan pada anakanak yang mengalami gangguan khususnya autisme dan hiperaktifitas. Bahkan Indonesia merupakan salah satu dari lima negara di dunia yang paling tinggi tingkat polusinya. 


5. Merkuri (Hg) Mekanisme keracunan merkuri di dalam tubuh belum diketahui dengan jelas. Namun, untuk daya racun merkuri dapat diinformasikan sebagai berikut; Kerusakan tubuh yang disebabkan oleh merkuri pada umumnya bersifat permanen, masing-masing komponen merkuri mempunyai perbedaan karakteristik yang berbeda seperti daya racunnya, distribusi, akumulasi atau pengumpulan, dan waktu retensinya (penyimpanan) di dalam tubuh. Apabila semua komponen merkuri berada dalam jumlah yang cukup, maka akan beracun terhadap tubuh. Merkuri dapat berpengaruh terhadap tubuh karena dapat menghambat kerja enzim dan menyebabkan kerusakan sel. Sifat-sifat membran dari dinding sel akan rusak karena pengikatan dengan merkuri, sehingga aktivitas sel dapat terganggu. Kondisi yang akut dapat menyebabkan kerusakan perut dan usus, gagal kardiovaskular (jantung dan pembuluhnya), dan gagal ginjal akut yang dapat menyebabkan kematian (Anonymous, 2004). 


STRATEGI PENANGANAN LIMBAH LOGAM BERAT 


1. Penanganan Limbah Logam Berat pada Lingkungan Khususnya Tanaman Sayuran Sampai saat ini belum ada sistem yang secara utuh di negara kita yang berperan dalam penanganan sayuran segar setelah pemanenan dalam upaya menurunkan residu logam berat, apalagi upaya rutin yang dilakukan pada masa pra tanam dan saat budi daya sayuran. Penanganan yang ada masih bersifat parsial dan insidentil (bila ada kasus). Selama ini penanganan bahan kimia beracun dalam tanah masih memanfaakan proses berteknologi rendah. Kebanyakan orang hanya menggali lapisan beracun dan menimbunnya di tempat lain atau dengan cara mencuci tanah. Cara ini cenderung mahal dan kurang efektif. Selain merusak lingkungan, tanah yang tertinggal juga berkualitas rendah. Penggunaan tanaman untuk membersihkan bahan kimia yang tidak diinginkan dari tanah yang dikenal dengan nama phytoremediation berpotensi jauh lebih murah, namun butuh waktu lama. Di India, tanaman yang telah dimodifikasi secara genetis terbuki mampu menyerap kelebihan unsur logam berat Selenium (Se) dari tanah. Tanaman yang dimaksud yaitu sawi. Diharapkan teknologi modifikasi genetis pada tanaman ini bisa membersihkan lahan yang telah tercemar logam berat di masa mendatang, namun tentunya masih diperlukan studi-studi yang mendalam. Upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan dilakukan dengan cara promotif, preventif, pengobatan dan pemulihan. Namun dirasa perlu dititikberatkan pada upaya promotif dan preventif. Filosofi kesehatan yang menyatakan bahwa mencegah lebih mudah dan murah dari pengobatan, sebaiknya dapat menjadi rujukan. Limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) sebelum dibuang ke media lingkungan seharusnya diolah lebih dulu. Pemerintah telah mengeluarkan berbagai peraturan yang berhubungan dengan masalah lingkungan hidup, antara lain yang mengatur bahwa limbah yang dihasilkan oleh suatu kegiatan (misal: industri) yang dibuang ke lingkungan (udara dan perairan) harus sesuai dengan baku mutu lingkungan, baik itu baku mutu untuk udara maupun baku mutu untuk air. Hal ini merupakan bagian dari Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang menjadi program pemerintah melalui instansi yang terkait. Namun, kenyataan yang ada di lapangan seringkali tidak sesuai dengan yang tertulis di atas kertas. Pengusaha seringkali melanggar ketentuan pemerintah dengan alasan menghemat pengeluaran atau biaya yang dikeluarkan untuk mengolah limbah agar sesuai dengan baku mutu lingkungan. Alasan lain ialah bahwa limbah industri seringkali sulit dalam pengelolaannya karena polutan yang terkandung di dalamnya terdiri dari berbagai unsur, termasuk logam berat dan sebagian besar bersifat toksik. Hal ini merupakan tindakan membahayakan lingkungan hidup dan pada akhirnya berdampak pada kesehatan manusia. Selain itu, sebagai contoh, di kota-kota besar seperti Jakarta, dengan semakin banyaknya industri maka membuka peluang tercemarnya tanah dan sungai, sehingga air sungai tidak dapat dimanfaatkan lagi untuk keperluan hidup sehari-hari. Petani sayuran di Jakarta, dengan keterbatasan sumberdaya lahan dan air terpaksa memanfaatkan lokasi yang sudah tercemar untuk menanam sayuran komersial. Logam berat dari lahan dan air tercemar akhirnya menempel pada sayuran dan selanjutnya kita konsumsi. Penanganan kontaminasi logam berat pada sayuran yang telah dipanen praktis tidak secara signifikan dapat mengurangi residu logam berat dalam sayuran tersebut. Penanganan segar sayuran yang hanya mencuci sayuran (bahkan seringkali hal ini tidak pernah dilakukan oleh petani, baik petani produsen maupun petani pengumpul) kemudian mengikat, mengemas dan menaikkannya ke dalam truk pengangkut yang hanya dilapisi plasik terpal dan ditutup dengan bahan yang sama, sebenarnya secara logis hanya sedikit saja mengurangi residu logam berat yang terdapat pada permukaan sayuran. Residu logam berat yang terdapat di dalam jaringan tanaman sayuran sendiri tidaklah hilang atau berkurang. Padahal menurut Singh (2004), logam berat yang terakumulasi dalam jaringan tanaman lebih berbahaya karena residunya tidak terlihat sebagaimana kotoran yang tampak pada permukaan sayuran. Residu logam berat tersebut merupakan hasil perlakuan pada saat penanaman, yaitu dengan pemberian pupuk atau pestisida yang berlebihan dan melebihi dosis aman yang telah diteapkan. Oleh karena itu, secara jangka panjang, petani penanam sayuran memiliki peran yang sangat dominan dalam mengurangi cemaran logam berat pada sayur-sayuran yang ditanamnya. Oleh karena itu upaya penyuluhan yang simultan dan berkesinambungan yang diberikan oleh para penyuluh pertanian kepada para petani untuk melakukan caracara penanaman yang baik merupakan aspek yang paling penting yang harus dilakukan pada saat ini, selain upaya pemerintah ‘memaksa’ bahkan memberi ‘sanksi’ bagi pelaku industri besar yang membuang limbah secara sembarangan dan tidak sesuai baku mutu yang dipersyaratkan ke lingkungan, baik lingkungan udara maupun perairan. 

2. Pencegahan Akumulasi Logam Berat Pada Tubuh Manusia Kesadaran gizi pada tingkat keluarga perlu ditunjang dengan pemahaman tentang masalah sanitasi sehingga cara pengolahan sayuran di tingkat rumah tangga bisa lebih aman dan memenuhi syarat kesehatan. Pada tingkat keluarga, usaha yang dapat dilakukan untuk menghindari bahaya logam berat dapat dilakukan antara lain dengan menghindari sumber bahan pangan (terutama sayuran) yang memiliki resiko mengandung logam berat, mencuci sayuran dengan baik dan seksama, misalnya dengan menggunakan air yang mengalir atau menggunakan sanitizer. Contoh sanitizer yang dapat digunakan adalah Natrium Hipoklorit (NaOCl), sejenis senyawa klorin yang dapat dibeli secara komersial di pasaran dengan berbagai merek. Sayuran juga sebaiknya diblansir, yaitu sayuran diberi pemanasan pendahuluan dalam suhu mendidih pada waktu yang singkat (3-5 menit) yang bertujuan untuk mereduksi cemaran logam berat yang menempel pada permukaan sayur. Hal ini dilakukan sebelum sayuran dikonsumsi atau diolah lebih lanjut. Kebiasaan mengkonsumsi sayuran mentah sebagai lalap sebenarnya masih beresiko untuk mengalami gangguan kesehatan. Selain memblansir, mencuci pada air yang mengalir kemudian mengukus atau merebus sayuran adalah cara aman lain untuk mengkonsumsi sayuran secara sehat (Munarso et al., 2005). Pencegahan akumulasi logam berat dapat juga dilakukan dengan banyak mengkonsumsi serat. Dengan mengkonsumsi sayuran yang memiliki kandungan serat yang tinggi dapat memperlancar metabolisme pencernaan dan dapat mencegah terjadinya kanker kolon, karena serat sayuran dapat menyerap kolesterol dalam asam empedu. Hal ini dapat diupayakan dengan membiasakan keluarga mengkonsumsi makanan yang mengandung serat tinggi. Buah-buahan, sayuran, bawang, dan kacangkacangan, adalah beberapa diantaranya. Serat makanan bahan tadi, seperti pektin, lignin, dan beberapa hemiselulosa dari polisakarida lain yang larut dalam air, vitamin C, serta bioflavonid dapat menetralkan timbal dan mengurangi penyerapan logam berat melalui sistem pencernaan kita. Di tingkat petani, upaya untuk mencegah terjadinya pencemaran pada komoditi sayur-sayuran segar harus dilakukan dengan memberikan penyuluhan kepada petani tentang cara pemakaian pupuk dan insektisida yang benar, juga cara pengangkutan yang baik. Pengangkutan harus dilakukan dalam kemasan tertutup selama dalam pengangkutan dan pendistribusian dari kebun sampai ke pasar atau konsumen. Bentuk pencegahan lain, yang lebih besar adalah seharusnya pemerintah melakukan upaya penggantian bahan bakar bensin bertimbal dengan bensin tanpa timbal. Bensin ini termasuk ke dalam golongan bahan bakar khusus (BBK) yang mencakup bensin super tanpa timbal (super-TT), premix 94, dan bensin biru 2 langkah (BB2L). Meski biaya untuk keperluan modifikasi ini sangat mahal, namun keuntungan yang diperoleh akan jauh lebih besar. Alangkah nyaman dan indahnya masa depan kita (terutama anak-anak kita) kalau kualitas udara di kotakota besar steril dari cemaran timbal yang pada gilirannya mendukung terbentuknya kecerdasan intelektual anak sejak dini. Jika negara-negara lain sudah menggunakan bensin tanpa timbal, semestinya Indonesia pun bisa. 


KESIMPULAN 

1. Masalah logam berat pada tanah pertanian dan pada tanaman yang tumbuh di atasnya (khususnya sayuran) disebabkan adanya akumulasi logam berat seperti Pb, Cd, dan Hg yang dapat berasal dari limbah industri pada perairan atau kontaminasi dari asap pabrik dan asap kendaraan bermotor yang selanjutnya akan masuk ke dalam siklus rantai makanan dan akan terakumulasi pada tingkat yang lebih tinggi, yaitu manusia dan hewan. 

2. Kajian mengenai kandungan logam berat berbahaya yang dapat terserap oleh tanaman sayuran yang biasa dikonsumsi oleh manusia seperti halnya caisim, bawang merah, kubis, tomat, wortel, selada bokor dan lain-lain sebagai akibat dari penggunaan pupuk yang berlebihan dan polusi udara di lahan dekat jalan raya masih perlu banyak dilakukan. Dengan adanya informasi mengenai kandungan Pb, Cd, Hg, As, Cu dan bahkan logam-logam berat lain dalam tanaman, diharapkan petani dapat mengurangi penggunaan pupuk yang berdampak negatif pada tanaman. Dengan demikian produksi tanaman yang maksimal akan didukung oleh kualitas yang baik serta aman untuk dikonsumsi. Masyarakat pun perlu disadarkan akan bahaya logam berat pada sayuran dan buah-buahan yang setiap hari dikonsumsi. Karena secanggih apapun teknologi (yang berpotensi menimbulkan bahaya logam berat), apabila tidak disertai dengan sistem daur ulang limbah yang benar, pada akhirnya akan berpotensi membahayakan kesehatan manusia secara universal sehingga kecanggihan teknologi tersebut tidak ada artinya, bahkan harus dibayar dengan harga kesehatan yang mahal oleh umat manusia.





DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. 2000. Bahaya Kontaminasi Logam Berat Timbal pada Makanan. Sedap Sekejap Edisi 10/I, September 2000.

Anonymous. 2004. Cara Alternatif untuk Mengolah Limbah Padat yang Mengandung Merkuri dan Arsen. –Merujuk Kasus Buyat-. Kompas cyber media edisi Selasa, 31 Agustus 2004. http:// www.kompas.com. Diakses tanggal 17 Juli 2007.

Anonymous, 2005. Awas, Bahaya Logam Berat! Kompas cyber media edisi Rabu, 09 Februari 2005.
http://www.kompas.com. Diakses tanggal 12 Juni 2006.

Astawan, Made. 2005. Awas Koran Bekas! Kompas cyber media. http://www.kompas.com. Diakses tanggal 12 Juni 2006.

Anonymous, 2006. Lumpur Lapindo Mengandung Logam Berat Berlebihan. Kompas cyber media. http://www.kompas.com. Diakses tanggal 27 September 2006.

Ayu, C.C. 2002. Mempelajari Kadar Mineral dan Logam Berat pada Komoditi Sayuran Segar di Beberapa Pasar di Bogor. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor.

Bahemuka, T.E. and E.B. Mubofu. 1999. Heavy metals in edible green vegetables grown along the sites of the Sinza and Msimbazi rivers in Dar es Salaam, Tanzania. J. of food Chemistry. Vol 66(1):63-66. July 1999.

Charlena, 2004. Pencemaran Logam Berat Timbal (Pb) dan Cadmium (Cd) pada Sayur-sayuran. Falsafah Sains. Program Pascasarjana S3 IPB. Posted tgl 30 Desember 2004. http:// www.google.co.id. Diakses tanggal 13 Juni 2006.

Chiroma, T.M., B.I. Abdulkarim, and H.M. Kefas. 1997. The impact of pesticide application on heavy metal (Cd, Pb and Cu) levels in Spinach. Leonardo Electronic Journal of Practices and Technologies. ISSN 1583-1078. Vol 11: 117-122. July-December 2007.

Cui, Y.J., Y.G. Zhu, R.H. Zhai, D. Y. Chen, Y.Z. Huang, Y. Qiu and J.Z. Liang. 2004. Transfer of metals from soil to vegetables in an area near a smelter in Nanning, China. J. of Environment International. Vol 30(6): 785-791. August 2004.

Darmono, 1995. Logam Berat dalam Sistem Biologi. UI Press. Jakarta.

Muchuweti. M., J.W. Birkett, E. Chinyanga, R. Zvauya, M.D. Scrimshaw and J.N. Lester. 2004. Heavy metal content of vegetables irrigated with mixtures of wastewater and sewage sludge in Zimbabwe: Implications for human health. J. of Agriculture, Ecosystem & Environment, 112 (1): 41-48.

Munarso, J., Suismono, Murtiningsih, Misgyarta, R. Nurdjannah, Widaningrum, M. Hadipernata, L. Sukarno, Danuarsa, Wahyudiono. 2005. Identifikasi Kontaminan dan Perbaikan Mutu Sayuran. Laporan Akhir Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.

Qomaruddin dan Rahmah. 2003. Keracunan Logam Berat hingga Casomorphin. http:// www.banjarmasinpost. Edisi 05 April 2003. Diakses tanggal 12 Juni 2006.

Sharma, R.K., M. Agrawal and F. Marshall. 2005. Heavy metal contamination of soil and vegetables in subsurban areas of Varanasi, India. J. of Ecotoxicology and Environmental Safety. 66 (2): 258-266. http://www.springerlink.com/content/ w3v200137k326411/

Singh, A., R.K. Sharma, M. Agrawal and F. Marshall. 2007. Heavy metal contamination of food baskets in an area having long term uses of treated and untreated sewage water for irrigation. Journal of Geophysical Research. Vol 9: 114-120. June 2007.

Subowo, Mulyadi, S. Widodo dan Asep Nugraha. 1999. Status dan Penyebaran Pb, Cd, dan Pestisida pada Lahan Sawah Intensifikasi di Pinggir Jalan Raya. Prosiding. Bidang Kimia dan Bioteknologi Tanah, Puslittanak, Bogor.

Sudarmadji, J. Mukono dan Corie I.P. 2006. Toksikologi logam berat B3 dan dampaknya terhadap kesehatan. Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol. 2, No. 2, Januari 2006: 129-142

Sumarni, N. dan Rini Rosliani. 1996. Efisiensi Pemupukan NPK pada Sistem Tanam Bawang Merah dan Cabai. Prosiding Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Jakarta.

Turkdogan, M.K., F. Kilicel, K. Kara, I. Tuncer and I. Uygan. 2003. Heavy metals in soil, vegetables and fruits in the endemic upper gastrointestinal cancer region of Turkey. J. of Environmental Toxicology and Pharmacology. Vol 13 (3): 175- 179. April 2003.

Zheng, N., Q. Wang and D. Zheng. 2007. Health risk of Hg, Pb, Cd, Zn and Cu to the inhabitants around Huludao Zinc Plant in China via consumption of vegetables. J.of Science of The Total Environment. Vol 383 (1-3):81-89. September 2007.

No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.