Sebagai salah
satu komoditas pangan penting selain padi, konsumsi jagung untuk pangan dan
juga pakan di Indonesia cukup tinggi. Oleh karena itu, mutunya pun juga harus
sesuai standar demi keamanan pangan dan kelayakan pakan. Dan salah satu
parameter pentingnya adalah kandungan minimum aflatoksin dalam biji jagung.
Istilah
aflatoksin mungkin masih begitu asing di telinga para petani jagung. Tapi hal
itu tentu tidak berlaku bagi para pelaku bisnis perdagangan jagung. Mereka
sudah pasti akan sangat akrab dengan kata atau istilah tersebut. Pasalnya,
aflatoksin merupakan salah satu parameter penting dalam industri perdagangan
jagung.
Dalam
pengertiannya, aflatoksin ialah senyawa beracun yang dihasilkan oleh strain
tertentu dari jamur Aspergilus flavus dan Aspergilus parasiticus. Seperti
ditulis Johanis Tandiabong dari Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros, dalam
“Pengendalian Aflatoksin untuk Perbaikan Kualitas Biji Jagung”, senyawa itu
akan dikeluarkan jika kondisi lingkungan sangat mendukung perkembangan kedua
jamur itu, yaitu jika aktivitas air minimal 80%. Jika kandungan air biji jagung
kurang dari 18% dan aktivitas air juga kurang dari 80%, maka pertumbuhan dan
perkembangan Aspergilus sp. akan terhambat.
Dari beberapa penelitian menyebutkan bahwa kondisi fisik biji jagung memang menjadi pemicu awal munculnya infeksi Aspergilus sp.. Biji jagung yang luka biasanya akan menjadi pintu masuk bagi jamur tersebut untuk melakukan infasi serangan. Namun, seperti ditulis Johanis, beberapa strain yang agresif dari Aspergilus flavus juga mampu menginfeksi biji jagung yang masih sehat.
Dari beberapa penelitian menyebutkan bahwa kondisi fisik biji jagung memang menjadi pemicu awal munculnya infeksi Aspergilus sp.. Biji jagung yang luka biasanya akan menjadi pintu masuk bagi jamur tersebut untuk melakukan infasi serangan. Namun, seperti ditulis Johanis, beberapa strain yang agresif dari Aspergilus flavus juga mampu menginfeksi biji jagung yang masih sehat.
Johanis
menyebutkan, kondisi tanaman jagung yang banyak terserang hama penggerek
tongkol atau penggerek batang jagung juga turut menjadi penentu infeksi awal
dari kedua jamur tersebut. Suhu lingkungan yang tinggi disinyalir juga memicu
terjadinya infeksi pada rambut jagung.
Selain itu, akumulasi aflatoksin juga ditentukan oleh varietas jagung yang rentan terhadap jamur Aspergilus sp., peka terhadap serangan hama penggerek, dan memiliki karakter kelobot yang tidak mampu menutup sempurna.
Lantas, apa dampak yang bisa ditimbulkan jika biji jagung banyak mengandung aflatoksin? Johanis menulis, senyawa aflatoksin tersebut diduga bisa menimbulkan karsinogenik atau pemicu kanker pada manusia. Sementara pada hewan, senyawa beracun ini bisa menyebabkan nekrosis akut, sirosis, dan karsinoma pada organ hati.
Dari laporan USFDA (United State Food and Drug Administration), penduduk Kenya yang keracunan aflatoksin pada tahun 1982, 60 persennya meninggal dunia. Setelah diteliti, ternyata kadar aflatoksin pada jagung yang menjadi makanan pokok mereka berkisar antara 0,25-15 mg/kg jagung.
Oleh karena itu, Badan Pangan Dunia atau FAO (Food and Agriculture Organization) telah menentukan batas maksimum kandungan aflatoksin pada biji jagung, yakni tidak lebih dari 30 ppb (part per billion). Sementara pada industri pakan ternak juga telah menetapkan batasan maksimum aflatoksin dalam biji jagung yang dapat diterima untuk diolah menjadi pakan ternak. Seperti PT Charoen Pokphand Indonesia, Tbk. yang menetapkan batas toleransi maksimum kandungan aflatoksin sebesar 100 ppb.
Mencegah
sejak dini
Menurut Johanis, apabila biji jagung sudah terlanjur terinfeksi oleh senyawa aflatoksin, maka sudah tidak bisa dikendalikan atau dieliminasi lagi serangannya. Pasalnya, hingga saat ini belum ada teknologi pengendalian yang tepat yang bisa diterapkan. Yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan upaya pencegahan dini melalui beberapa cara, di antaranya adalah: penanaman varietas yang tahan, pengelolaan tanaman, dan penanganan panen dan pascapanen.
Penggunaan varietas jagung yang memiliki gen ketahanan terhadap jamur Aspergilus sp. dan juga tahan terhadap serangan hama penggerek merupakan cara yang paling baik untuk mencegah infeksi aflatoksin. Di samping itu, karakter tanaman yang memiliki klobot yang mampu menutup sempurna dan tahan kekeringan juga bisa menekan infeksi.
Selain itu, hal penting lain yang juga patut diperhatikan adalah penanganan panen dan pascapanen jagung. Karena hal ini sangat terkait erat dengan kualitas biji jagung yang dihasilkan. Menurut Johanis, pemanenan sebaiknya dilakukan segera setelah tanaman masak secara fisiologis. Kenyataannya, kebanyakan petani memanen jagung pada umur lebih 3-4 bulan. Akibatnya hasil panen banyak yang terinfeksi jamur Aspergilus. Pemanenan saat hujan sebaiknya juga dihindari.
Seusai dipanen, tongkol jagung sebaiknya segera dikeringkan hingga kadar air di
bawah 15% untuk menghindari kontaminasi aflatoksin dan biji rusak sewaktu
dipipil nantinya. Pengeringan pada lantai jemur tanpa alas dan tidak cukup
kering juga bisa memicu infeksi, karena spora Aspergilus sp. paling banyak
dijumpai di tanah dan udara di sekitar lantai jemur dan gudang penyimpanan.
Oleh karena itu, sebaiknya hindari penjemuran tanpa menggunakan alas dan
hindari juga penyimpanan jagung di gudang jika kadar airnya masih di atas 15%.
No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.