Arsenik Dalam
Air Minum
Bahaya
Arsenik Mengintai di Air Minum Kita
Arsenic
poisoning from wells is getting worse in India and other parts of Asia, harming
millions while scientists scramble to find safer sources. -Katy Daigle
Ketika mencari
sumber untuk mengetahui lebih dalam soal kontaminasi di air minum, saya
menemukan satu artikel yang menarik, oleh Katy Daigle yang dipublikasikan di
Scientific American, 1 Januari 2016 lalu, yang berjudul Death in the Water.
Ada bahaya yang mengintai negeri kita, yang mungkin tidak kita perkirakan
sebelumnya. Fakta yang tertera di post kali ini berasal dari artikel
ini.
Masih ingat kasus
Munir yang dibunuh dengan diracun arsenik? Jika elemen kimia satu ini tidak
sengaja tertelan di atas batas ambang, sudah dipastikan nyawa melayang. Tak ada
cara yang mudah untuk mendeteksi racun satu ini, karena dia tidak berbau,
berwarna, atau berasa. Berbeda dengan racun sianida, yang terasa seperti almond
pahit, dan bisa terdeteksi dalam jumlah signifikan.
Di India,
kontaminasi air oleh arsenik sudah bukan hal yang baru. Ada banyak cara yang
dilakukan untuk menghindari meminum air terkontaminasi ini, salah satunya
adalah dengan menggunakan filter dan menghindari mengebor sumur di area
tertentu. Selain berbahaya jika tertelan, air yang terkontaminasi arsenik juga
berbahaya bagi kulit kita jika sering terpapar (misalkan, menggunakannya untuk
mandi). Saintis menemukan, berdasarkan hasil mapping, kalau Indonesia
merupakan area yang rentan oleh air yang terkontaminasi arsenik. Bagaimana
bisa?
Pertama-tama,
mari kita melihat bagaimana air di India bisa mengandung kadar arsenik yang
tinggi. Daerah di bawah Himalaya, merupakan salah satu daerah dengan kadar
arsenik tertinggi. Setelah Pegunungan Himalaya terbentuk dengan tectonic
collision, mineral arsenik yang tersimpan di perut bumi terangkat dan
terbawa air sungai. Arsenik ini pun bereaksi dengan berbagai macam ion logam
berat, dan menjadi sedimen. Karena bentuk sedimen ini menyerupai granula dan
berat, dia pun akhirnya tenggelam dan mengendap di sungai. Endapan ini
terkumpul selama beribu-ribu tahun, di area yang kini menjadi rumah bagi
sekitar 500 juta orang, di dekat delta Sungai Gangga.
Di Asia Tenggara
sendiri, tanahnya cenderung memiliki kadar okigen yang rendah dan kaya akan
karbon organik. Karakteristik seperti ini sering dijumpai di daerah aliran
sungai, dataran banjir, dan delta, di mana permukaan tanahnya tergolong ‘baru’,
sehingga bakteri bisa tumbuh. Bakteri ini membantu reaksi kimia yang melepaskan
arsenik dari pasangan ion logam beratnya. Sehingga, kadar arsenik di daerah ini
cenderung sangat tinggi.
Di Indonesia
sendiri, daerah yang rawan adalah di sekitar Sumatera, berdasarkan hasil mapping
Berg dan peneliti lain di Eawag pada tahun 2006. Ketika mereka mengetesnya
secara langsung, ternyata prediksi mapping mereka terbukti. Berdasarkan
Winkel et al., (2008), sekitar 100.000 km persegi area di Sumatera memiliki air
tanah yang rawan terkontaminasi arsenik. Berdasarkan hasil tes, kadar arsenik
di daerah ini tergolong di atas maksimum yang dianjurkan oleh WHO (sekitar 10
mikrogram/ liter), dan beberapa daerah memiliki kadar arsenik hingga 65
mikrogram/ liter.
Mungkin kamu
berpikir, “Bagaimana jika kita menghindari daerah sungai, dan tidak mengebor
sumur di situ?” Ternyata, tidak semudah itu kita bisa menghindarinya. Seiring
populasi yang terus menerus tumbuh, dan kebutuhan air bersih yang semakin
meningkat, semakin banyak orang yang membuat sumur bor. Konsentrasi air di
tanah pun menurun, sehingga air dari daerah reservoir terdekat (dalam hal ini
dari sungai), akan meresap ke tanah, termasuk air yang terkontaminasi arsenik.
Lebih lengkapnya, lihat gambar di bawah ini.
Dalam kasus daerah berpopulasi rendah, air tanah bergerak
dari aquifer menuju
sungai, sedangkan dalam kasus daerah berpopulasi tinggi, yang terjadi adalah
sebaliknya. Sumber dari “Statistical Modeling of Global Geogenic Arsenic
Contamination in Groundwater,” by Manouchehr Amini et al., in Environmental
Science & Technology, Vol. 42, No. 10; May 15, 2008 (map provided by
Michael Berg); “Retardation of Arsenic Transport through a Pleistocene
Aquifer,” by Alexander van Geen et al., in Nature, Vol. 501; September 12, 2013
(Hanoi case study)
India dan
Bangladesh sendiri sudah mencoba membangun arsenic-removal plant untuk
menyaring air ari sungai, tetapi mekanisme filternya kurang efektif karena
membutuhkan perawatan yang intensif. Dengan pertumbuhan populasi yang
signifikan, air yang terkontaminasi arsenik akan semakin menyebar, dan berefek
pada masyarakat banyak.
Meminum air yang
terkontaminasi arsenik bisa menyebabgkan penyakit kulit, semacam kusta, yang
disebut arsenicosis. Efek dari hal ini sangat signifikan terutama di
negara berkembang yang masih mempercayai mitos dan kutukan. Meskipun penyakit arsenicosis
ini tidak menular, orang-orang masih sering memberikan sanksi sosial dengan
mengucilkan penderita. Sayangnya, hingga saat ini belum ada metode/ obat yang
efektif untuk menyembuhkan penyakit ini. Dalam jangka panjang, meminum air yang
terkontaminasi arsenik juga bisa mengakibatkan kerusakan otak, penyakit
jantung, dan kanker.
Kesadaran
masyarakat Indonesia mengenai air minum yang bisa terkontaminasi arsenik ini
masih sangat rendah, karena kasus seperti ini memang jarang. Tetapi bukan tidak
mungkin, di masa depan, saat populasi semakin meningkat, air yang sarat dengan
arsenik akan tersebar dan meluas. Sebelum saat itu tiba dan berubah menjadi
tidak terkendali seperti di negara-negara Asia Selatan, bukankah ada baiknya
kita mulai mengambil tindakan preventif?
.
No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.