Total Pageviews

Sunday, 5 January 2020

Arsenik Dalam Air Minum



Arsenik Dalam Air Minum 

Bahaya Arsenik Mengintai di Air Minum Kita






Arsenic poisoning from wells is getting worse in India and other parts of Asia, harming millions while scientists scramble to find safer sources. -Katy Daigle


Ketika mencari sumber untuk mengetahui lebih dalam soal kontaminasi di air minum, saya menemukan satu artikel yang menarik, oleh Katy Daigle yang dipublikasikan di Scientific American, 1 Januari 2016 lalu, yang berjudul Death in the Water. Ada bahaya yang mengintai negeri kita, yang mungkin tidak kita perkirakan sebelumnya. Fakta yang tertera di post kali ini berasal dari artikel ini.


Masih ingat kasus Munir yang dibunuh dengan diracun arsenik? Jika elemen kimia satu ini tidak sengaja tertelan di atas batas ambang, sudah dipastikan nyawa melayang. Tak ada cara yang mudah untuk mendeteksi racun satu ini, karena dia tidak berbau, berwarna, atau berasa. Berbeda dengan racun sianida, yang terasa seperti almond pahit, dan bisa terdeteksi dalam jumlah signifikan.


Di India, kontaminasi air oleh arsenik sudah bukan hal yang baru. Ada banyak cara yang dilakukan untuk menghindari meminum air terkontaminasi ini, salah satunya adalah dengan menggunakan filter dan menghindari mengebor sumur di area tertentu. Selain berbahaya jika tertelan, air yang terkontaminasi arsenik juga berbahaya bagi kulit kita jika sering terpapar (misalkan, menggunakannya untuk mandi). Saintis menemukan, berdasarkan hasil mapping, kalau Indonesia merupakan area yang rentan oleh air yang terkontaminasi arsenik. Bagaimana bisa?


Pertama-tama, mari kita melihat bagaimana air di India bisa mengandung kadar arsenik yang tinggi. Daerah di bawah Himalaya, merupakan salah satu daerah dengan kadar arsenik tertinggi. Setelah Pegunungan Himalaya terbentuk dengan tectonic collision, mineral arsenik yang tersimpan di perut bumi terangkat dan terbawa air sungai. Arsenik ini pun bereaksi dengan berbagai macam ion logam berat, dan menjadi sedimen. Karena bentuk sedimen ini menyerupai granula dan berat, dia pun akhirnya tenggelam dan mengendap di sungai. Endapan ini terkumpul selama beribu-ribu tahun, di area yang kini menjadi rumah bagi sekitar 500 juta orang, di dekat delta Sungai Gangga.


Di Asia Tenggara sendiri, tanahnya cenderung memiliki kadar okigen yang rendah dan kaya akan karbon organik. Karakteristik seperti ini sering dijumpai di daerah aliran sungai, dataran banjir, dan delta, di mana permukaan tanahnya tergolong ‘baru’, sehingga bakteri bisa tumbuh. Bakteri ini membantu reaksi kimia yang melepaskan arsenik dari pasangan ion logam beratnya. Sehingga, kadar arsenik di daerah ini cenderung sangat tinggi.


Di Indonesia sendiri, daerah yang rawan adalah di sekitar Sumatera, berdasarkan hasil mapping Berg dan peneliti lain di Eawag pada tahun 2006. Ketika mereka mengetesnya secara langsung, ternyata prediksi mapping mereka terbukti. Berdasarkan Winkel et al., (2008), sekitar 100.000 km persegi area di Sumatera memiliki air tanah yang rawan terkontaminasi arsenik. Berdasarkan hasil tes, kadar arsenik di daerah ini tergolong di atas maksimum yang dianjurkan oleh WHO (sekitar 10 mikrogram/ liter), dan beberapa daerah memiliki kadar arsenik hingga 65 mikrogram/ liter.


Mungkin kamu berpikir, “Bagaimana jika kita menghindari daerah sungai, dan tidak mengebor sumur di situ?” Ternyata, tidak semudah itu kita bisa menghindarinya. Seiring populasi yang terus menerus tumbuh, dan kebutuhan air bersih yang semakin meningkat, semakin banyak orang yang membuat sumur bor. Konsentrasi air di tanah pun menurun, sehingga air dari daerah reservoir terdekat (dalam hal ini dari sungai), akan meresap ke tanah, termasuk air yang terkontaminasi arsenik. Lebih lengkapnya, lihat gambar di bawah ini.




Dalam kasus daerah berpopulasi rendah, air tanah bergerak dari aquifer menuju sungai, sedangkan dalam kasus daerah berpopulasi tinggi, yang terjadi adalah sebaliknya. Sumber dari “Statistical Modeling of Global Geogenic Arsenic Contamination in Groundwater,” by Manouchehr Amini et al., in Environmental Science & Technology, Vol. 42, No. 10; May 15, 2008 (map provided by Michael Berg); “Retardation of Arsenic Transport through a Pleistocene Aquifer,” by Alexander van Geen et al., in Nature, Vol. 501; September 12, 2013 (Hanoi case study)


India dan Bangladesh sendiri sudah mencoba membangun arsenic-removal plant untuk menyaring air ari sungai, tetapi mekanisme filternya kurang efektif karena membutuhkan perawatan yang intensif. Dengan pertumbuhan populasi yang signifikan, air yang terkontaminasi arsenik akan semakin menyebar, dan berefek pada masyarakat banyak.


Meminum air yang terkontaminasi arsenik bisa menyebabgkan penyakit kulit, semacam kusta, yang disebut arsenicosis. Efek dari hal ini sangat signifikan terutama di negara berkembang yang masih mempercayai mitos dan kutukan. Meskipun penyakit arsenicosis ini tidak menular, orang-orang masih sering memberikan sanksi sosial dengan mengucilkan penderita. Sayangnya, hingga saat ini belum ada metode/ obat yang efektif untuk menyembuhkan penyakit ini. Dalam jangka panjang, meminum air yang terkontaminasi arsenik juga bisa mengakibatkan kerusakan otak, penyakit jantung, dan kanker.


Kesadaran masyarakat Indonesia mengenai air minum yang bisa terkontaminasi arsenik ini masih sangat rendah, karena kasus seperti ini memang jarang. Tetapi bukan tidak mungkin, di masa depan, saat populasi semakin meningkat, air yang sarat dengan arsenik akan tersebar dan meluas. Sebelum saat itu tiba dan berubah menjadi tidak terkendali seperti di negara-negara Asia Selatan, bukankah ada baiknya kita mulai mengambil tindakan preventif?





.

No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.