Manila
nama dipaksa rela
Nama
sebenar dulunya adalah “Fi Amanilah”
Senin, 26 Syawwal 1440 H / 1 Juli 2019
Eramuslim.com – Kenapa perjuangan sebagian muslim Filipina di
bawah bendera Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF) yang mahsyur itu seperti
tak mengenal letih? Rupanya, setelah menelisik sejarah masa lalu
Filipina, penulis seperti mendapati sebuah pemakluman. Ada jawaban perih yang
tak bisa dihilangkan dari memori kaum Muslim Filipina: sebuah jawaban yang
hingga saat ini melecutkan harapan dan menimbulkan konflik berdarah.
Dan
menyebarlah berita tentang muslim Filipina yang lekat sebagai muslim teroris
yang tak kenal kompromi.
Seperti apakah muslim Filipina menyikapinya? Bagaimanakah dinamika kehidupan muslim Filipina di abad millenium ini?
Seperti apakah muslim Filipina menyikapinya? Bagaimanakah dinamika kehidupan muslim Filipina di abad millenium ini?
Siapa
yang menduga kalau nama Manila, ibu kota Filipina itu, berasal dari kata Fi
Amanillah (B. Arab) yang berarti di bawah lindungan Allah? Tidak banyak yang
tahu, memang, kalau kota pusat transaksi perdagangan bangsa Filipina itu dahulu
kala menganut sistem pemerintahan Islam.
Sebab, menurut catatan sejarah, sebelum Spanyol datang menjajah
di tahun 1565, para sultan Islam dari Brunei Darrussalam dan Johor sudah
terlebih dahulu menempati wilayah tersebut. Tak aneh, bila pencetusan nama
Manila pun diadopsi berdasarkan kata di atas. Mereka berharap bahwa kelak suatu
saat nanti, Manila akan menjadi kota yang tidak hanya menganut sistem
pemerintahan Islam yang demokratis tapi juga modern, aman, dan sejahtera. Dalam
beberapa dekade, cita-cita itu sempat terlaksana.
Namun
sayang, ketika bangsa Spanyol berhasil menaklukan Manila dan beberapa daerah di
kepulauan Filipina, harapan itu menjadi mimpi belaka. Yang paling kentara
antara lain; Pertama, penduduk Filipina yang dulu mayoritas umat Islam, kini
menjadi kaum minoritas alias warga kelas dua. Sekitar 5-7 juta atau sekitar 8,5
persen dari 66 juta jiwa penduduk Filipina adalah Muslim. Selebihnya merupakan
umat Kristen Katholik Filipina. Kedua, dahulu kala segala tuntutan sosial,
ekonomi dan politik muslim Filipina merupakan perkara yang selalu diperhatikan
pemerintah, sementara sekarang ini umat Islam Filipina mendapat banyak rintangan.
ISLAM
FILIPINA DI MASA SILAM
Bila menengok lembar sejarah Filipina, umat muslim Filipina telah ada sejak
abad 13. Filipina sendiri waktu itu belum berbentuk negara menjadi Republik
Filipina. Ia hanya sebentuk kepulauan rumpun melayu yang dijadikan tempat
berniaga para pedagang muslim dan persinggahan para ulama dari Gujarat, India,
dan Timur Tengah. Untuk pertama kalinya, mereka menempati Kepulauan Sulu.
Namun,
setelah itu, petualang-petualang muslim Melayu menyusul dan mendirikan
kesultanan di bagian Filipina, yakni Sulu, Palawan dan Mindanao. Diantara
mereka adalah para da’i dari pulau Kalimantan yang kebetulan berdekatan dengan
Sulu. Maka berkembanglah dengan pesatnya kehidupan muslim di tiga daerah ini.
Pengaruhnya bukan hanya pada perkembangan agama, tapi juga secara
sosial-kultural di masyarakatnya.
Menurut
data Peter Gowing dalam Muslim Filipinos-Heritage and Horizon, muslim Filipina
dibagi ke dalam 12 kelompok etno-linguistik (suku-bangsa). Enam yang paling
utama adalah Maguindanao, Maranou, Iranum, Tausug, Samal dan Yakan. Preang
sisanya yaitu Jama Mapun, Kelompok Palawan (Palawani dan Molbog), Kalagan,
Kolibugan dan Sangil.
Kendati
suku-bahasa itu sangat beragam, bahasa kelompok muslim sendiri memiliki
kesamaan. Misalnya, bahasa Manguindanao dan Maranao dapat diucapkan dan
dimengerti oleh kedua kelompok ini. Tetapi ada pula beberapa dialek yang
dipakai baik oleh orang Islam maupun orang Kristen, yakni bahasa Samal, Jama
Mapun, dan Badjao. Sementara bahasa Tagalog dan Visayan banyak digunakan oleh
orang-orang Kristen.
Namun
demikian, menurut pakar bahasa modern, beberapa bahasa dan dialek orang-orang
Filipina Islam dan Kristen semuanya berasal dari rumpun linguistik (bahasa)
yang sama, dan memiliki banyak kesamaan. Lebih dari itu, baik orang Islam maupun
Kristen Filipina termasuk suku bangsa Melayu (lihat buku Dinamika Islam
Filipina, karya Cesar A. Majul: LP3ES, 1989).
Kala
itu, bertani dan menangkap ikan adalah mata pencaharian utama mereka. Bahkan,
ada beberapa kelompok yang dikenal menggantungkan hidup dari industri rumah
tangga, seperti kerajinan tangan, anyaman, serta aktivitas perdagangan. Wajar,
bila tempat mereka tinggal, praktis tidak mempunyai basis industri seperti
pabrik.
Secara
tradisional, kelompok-kelompok Islam itu sangat mencolok perbedaannya ketika
mereka menjalankan tradisi dan hukum (adat) yang beberapa di antaranya
terbentuk sebelum kedatangan Islam. Artinya, tali persaudaraan muslim Filipina
sangat jarang terjadi. Mereka lebih bangga terhadap identitas masing-masing.
Kendati demikian, biasanya kelompok-kelompok tersebut memiliki struktur sosial
yang serupa.
Sepanjang
sejarah mereka, struktur sosial-politik tersebut berdasarkan sistem datu, yang
juga seperti adat, yakni sebuah lembaga dari masa sebelum kedatangan Islam.
Datu itu sendiri adalah penguasa lokal (kecil), atau pangeran muda dengan
kekuasaan eksekutif dan militer. Dengan kedatangan Islam, beberapa datu yang
sangat kuat kekuasaannya, akhirnya menerima gelar sultan. Wajar bila ketegangan
antara sultan-sultan dan datu-datu acapkali terjadi.
Tidak
hanya itu, pada abad-abad yang lampau, kelompok-kelompok Islam secara tunggal
membentuk kesatuan-kesatuan politik yang bebas, atau beberapa kelompok
bergabung untuk membentuk berbagai kekuatan politik. Kadang-kadang di antara
mereka terjadi pertarungan maupun persaingan ekonomi. Fakta demikian
menunjukkan bahwa mereka berhak mengajukan segala tuntutan sosial-politik dan
ekonomi dengan bebas dan adil berdasarkan kebutuhan kelompoknya masing-masing.
Tak aneh jika kalangan kelompok-kelompok Islam memiliki perbedaan pendapat
dalam menerapkan bentuk-bentuk lembaga keIslaman mereka. Kendati demikian, bila
timbul ancaman bahaya umum dari luar, mereka tetap bekerjasama dalam pertahanan
militer.
SPANYOL
DAN PERANG MORO
Hal inilah yang ditunjukkan mereka ketika Spanyol berniat mengubah Filipina
menjadi wilayah Katholik. Ada tiga kesultanan, yakni Sulu, Maguindanao dan
Bayan yang menentang dan melawan sekuat tenaga rencana bangsa Spanyol itu.
Sayang, kota Manila yang diperintah oleh kerabat Sultan Brunei Darussalam
dengan begitu mudahnya direbut Spanyol.
Selanjutnya, dengan trik kekerasan, persuasi atau menundukkan
secara halus dengan hadiah-hadiah, orang-orang Spanyol dapat memperluas
kedaulatannya ke seluruh perkampungan (barangay) Filipina yang terpencar-pencar
secara luas. Konon nama Filipina sendiri diambil dari nama Raja Philipe, salah
satu raja Spanyol yang sempat berkuasa. Meskipun begitu, mereka tak mampu
menaklukan kesultanan-kesultanan di Selatan.
Pada
saat inilah, genderang perang Kristen dan Islam bernama ‘Perang Moro’ mulai
digelar. Politik perang sebangsa pun digulirkan. Para penjajah Spanyol membuat
peta pertempuran antara indo Kristen (para pribumi Filipina yang telah
ter-Kristenkan) dengan orang-orang Moro (sebutan orang-orang Spanyol untuk
menamakan pribumi Filipina yang beragama Islam karena mereka mempunyai
kepercayaan yang sama dengan orang-orang Moor Spanyol).
Orang-orang
Moro sendiri adalah umat Islam di bagian Selatan Filipina. Struktur
pemerintahannya sendiri masih berpusat pada seorang Sultan; pemimpin agama dan
pemerintahan yang terikat dengan hukum Islam. Adapun datu di kalangan mereka
dipercaya sebagai tokoh masyarakat yang sangat terpengaruh. Datu-lah yang juga
memainkan peranan penting ditengah komunitas muslim. Moro hingga tahun 80-an.
Di banyak tempat, para datu-lah yang menjalankan administrasi pemerintahan yang
menggunakan syari’at Islam. Demikian sekilas kaum muslim Moro. Dengan model
kepemimpinan Islam yang kuat tersebut, tentu saja kaum indo-Kristen bertambah
semangat ingin menundukkan mereka.
Akhirnya,
perang kedua kelompok yang masih sedarah itu menimbulkan pengaruh luar biasa di
kemudian hari. Ratusan tahun kemudian, ketika masa senja kolonial Spanyol mulai
surut dan Amerika datang menggantikan Spanyol. Perang Moro masih terus
berlangsung. Meskipun dengan bentuk dan isi yang berbeda, namun tetap bertujuan
sama.
Semua
ini berawal pada tahun 1898 tatkala Spanyol menyerahkan Filipina kepada Amerika
Serikat setelah penandatanganan Perjanjian Paris. Keluar dari mulut macan,
masuk mulut buaya. Begitulah gambaran yang tepat untuk melukiskan perjuangan
muslim Moro.
Superioritas
militer Amerika Serikat memaksa para datu yang gigih untuk tunduk pada
kekuasaan Amerika Serikat. Para pejabat Amerika sendiri membiarkan Islam dan
hukum adat Moro tak tersentuh, asal tidak bertentangan dengan konstitusi
Amerika Serikat.
Namun,
mengetahui bakal terjajah kembali, meski bentuk penjajagannwa tak tampak oleh
mata, orang-orang Moro mulai kritis dan mengajukan beberapa usulan. Ketika orang-orang
Filipina mulai dilatih untuk mempersiapkan pemerintahan sendiri menuju
kemerdekaan, para sultan, datu, dan pemimpin agama Islam mengajukan petisi
kepada para pejabat Amerika agar wilayah mereka tidak diikutkan pada negara
merdeka yang direncanakan. Mereka menginginkan tetap berbeda dari Filipina
Kristen, bertahan dibawah perlindungan Amerika sampai mereka dapat mendirikan
negara sendiri yang terpisah.
Dan
puncaknya ketika Republik Filipina resmi didirikan pada tahun 1946, orang-orang
Moro dimasukkan dalam struktur politik tanpa konsultasi dan izin mereka. Tentu
saja hal tersebut menuai protes tajam dari orang-orang Moro. Banyak pelanggaran
hukum dan ketertiban yang mengkhawatirkan terjadi di wilayah Moro. Hingga
komite Senat Filipina, pada tahun 1951, menyimpulkan bahwa faktor yang
menyebabkan situasi tersebut adalah karena kebanyakan orang Moro tidak
mengidentifikasi diri mereka dengan bangsa Filipina atau tidak setuju dengan
kebijakan nasional.
Terlebih
pada tahun 50-an, ketika Amerika dan orang-orang Spanyol mendorong gelombang
migrasi kaum Nasrani (Kristen) dari Utara ke kawasan Selatan, tempat muslim
Moro menetap dan berkembang biak, pelbagai konflik agama merebak dari hari ke
hari. Rata-rata mereka berasal dari ratusan kepala keluarga etnis Ilongo,
Ilocano, Tagalog dan lain-lainnya. Mulai dari persoalan tanah, mata pelajaran
sekolah hingga tempat ibadah menjadi bahan sengketa di antara mereka.
Karena
itu, untuk mencegah konflik berkepanjangan dan merangkul kaum minoritas muslim,
pada tahun 1956 pemerintah Filipina membentuk Komisi Integrasi Nasional yang
selanjutnya digantikan oleh office of Muslim Affairs and Cultural Communities.
Inilah organisasi yang mengurusi kepentingan muslim Filipina.
Kendati
niat mulia itu sudah terwujud, namun permusuhan antara orang-orang Moro dan
Indio-Kristen masih terus bergolak. Terutama sekali pada tahun 70-an, saat satu
organisasi teroris Nasrani bernama Ilagas terbentuk. Awalnya organisasi ini
beroperasi di Cotabatos. Namun, perlahan-lahan gerakan ini semakin menyebar.
Kaum muslim lantas membentuk gerakan perlawanan yang diberi nama Blackshirt
untuk menghadang kemunculan teroris tersebut. Hal serupa terjadi juga di
wilayah Lanao. Di sana, kelompok muslim bernama Barracuda melakukan perlawanan
terhadap Ilagas. Dan, konflik pun terus meruyak dari satu daerah ke daerah
lainnya.
Konflik-konflik
di atas sebetulnya diperburuk oleh beberapa faktor, antara lain; membanjirnya
pemukiman Kristen ke wilayah-wilayah Muslim secara tak terkendali; penelantaran
nasional yang terus-menerus terhadap aspirasi ekonomi dan pendidikan bangsa
Moro; diskriminasi yang terang-terangan dalam melayani kaum muslim
dikantor-kantor pada tingkat nasional; hilangnya kekuasaan politik para pemimpin
Moro di daerah kekuasaan mereka semula; konflik tajam mengenai tanah antara
penduduk Moro dan Kristen.
Sejumlah
alasan inilah yang secara progresif meningkatkan pertikaian bersenjata antara
kelompok Kristen dan Moro dimana kepolisian atau tentara biasanya memihak pada
pihak yang pertama. Tak aneh, bila orang-orang Moro meneriakkan isu “pembersian
etnis” untuk menarik simpati Dunia Muslim.
Maka
ketegangan itu mengalami puncaknya pada tahun 1972. Kala itu, saat Presiden
Ferdinand Marcos tengah menerapkan hukuman mati dengan diikuti usaha-usaha
melucuti senjata orang-orang Moro, muncul pemberontakan secara terbuka. Gerakan
pembebasan yang paling mendapat dukungan luas ialah Front Pembebasan Nasional
Moro (MNLF) dengan kelompok militer mereka, Tentara Bangsa Moro (BMA) yang
dipimpin oleh Nur Misuari, mantan pengajar dari Universitas Filipina.
Organisasi inilah yang kemudian banyak mendapat sambutan dunia Islam. Baik
media massa cetak maupun elektronik dari pelbagai negara pernah menceritakan
aktifitas revolusioner-radikal MNLF.
Dampak
pemberitaan media memang luar biasa. Beberapa negara Islam turut prihatin atas
nasib orang-orang Moro. Maka, Organisasi Konferensi Islam (OKI) bersama mediasi
Libya mempengaruhi pemerintah Filipina dan MNLF guna menandatangani Perjanjian
Tripoli pada 1976, yang memberi suatu bentuk otonomi khusus bagi tiga bekas
provinsi yang berpenduduk Muslim.
Namun,
baik otonomi yang diberikan oleh rezim Presiden Marcos pada 1977 maupun otonomi
di bawah pemerintahan Corazon Aquino pada 1989 tidak memuaskan harapan OKI dan
tuntutan MNLF. Tak heran, pada tahun itu pula, MNLF memperbaharui tuntutannya
untuk memisahkan diri dari Filipina sambil mencari status keanggotaan OKI.
Walhasil,
terobosan paling signifikan adalah ketika wilayah otonomi Muslim Mindanao
terwujud pada tahun 1990 yang secara langsung memberikan peluang bagi kaum
Muslim untuk mengatur beberapa aspek pemerintahan di luar bidang Keamanan dan
Luar Negeri. Itu pun karena Mindanao termasuk salah satu daerah yang susah
ditundukkan penjajah.
MUSLIM
FILIPINA MASA KINI
Kendati telah terluka oleh kolonialisme Spanyol dan Amerika, kaum muslim
Filipina terus berusaha menghidupkan kebudayaan dan peradaban baru sesuai
harapan dan cita-cita mereka. Di negeri yang memiliki 7000 pulauan dan 100
dialek bertutur ini, kaum muslim Filipina pelan-pelan mengumpulkan kembali
sisa-sisa kemajuan Islam dahulu kala. Baik fisik maupun non-fisik.
Pada
tingkat fisik, misalnya. Banyak masjid dan madrasah baru didirikan berdasarkan
bantuan dari organisasi-organisasi Muslim luar. Bahkan, dewasa ini terdapat
1500 madrasah yang sudah berdiri, tetapi kebanyakan tidak lebih dari tingkat
menengah saja. Tidak hanya itu, pemerintah Filipina sendiri memberikan beasiswa
untuk para pelajar Moro yang berprestasi. Sementara pemerintah Mesir menawarkan
beasiswa bagi orang-orang Moro untuk belajar di Universitas Al-Azhar di Kairo.
Untuk meningkatkan mutu pendidikan anak-anak Moro, guru-guru Muslim dari luar
negeri pun mulai berdatangan untuk mengajar di wilayah Moro selama beberapa tahun.
Wajar
bila orang-orang Moro banyak yang mulai berkarir di pemerintahan Filipina,
meskipun baru sebatas diterima pada posisi-posisi puncak Departemen Kehakiman
dan Departemen Urusan Luar Negeri saja.
Di
lain hal, pada tahun 1977, Undang-Undang Hukum Perdata Muslim Nasional, dengan
satu pasal mengenai mufti, disahkan, meskipun tidak semua kantor peradilan dan
wilayah syari’at memberlakukan undang-undang tersebut. Selanjutnya pada tahun
1981, sebuah Kementrian Urusan Islam (Office of Muslim Affairs) pertama
dibentuk.
Dari kantor inilah diketahui, orang-orang Filipina banyak yang
kembali memeluk Islam. Dalam bahasa Tagalog, bahasa Nasional Filipina, mereka
disebut kaum ‘Balik Islam’.
Kebanyakan mereka tinggal di kepulauan Luzon. Dan berdasarkan data Office of Muslim Affairs itu, 6,599 juta orang lokal komunitas Islam di sana, 200 ribu diantaranya adalah kaum Balik Islam. Bahkan, sejak peristiwa 11 September yang menyerang Amerika Serikat, jumlah tersebut kian meningkat. Banyak orang-orang Balik Islam yang kembali memeluk Islam setelah mengkaji lagi ajaran Islam. Terlebih bagi orang Filipina yang memiliki keterkaitan sejarah yang panjang dengan dunia Islam.
Kebanyakan mereka tinggal di kepulauan Luzon. Dan berdasarkan data Office of Muslim Affairs itu, 6,599 juta orang lokal komunitas Islam di sana, 200 ribu diantaranya adalah kaum Balik Islam. Bahkan, sejak peristiwa 11 September yang menyerang Amerika Serikat, jumlah tersebut kian meningkat. Banyak orang-orang Balik Islam yang kembali memeluk Islam setelah mengkaji lagi ajaran Islam. Terlebih bagi orang Filipina yang memiliki keterkaitan sejarah yang panjang dengan dunia Islam.
Demikianlah
kondisi terakhir Islam di Filipina. Walaupun sekarang muslim Filipina hanya
menempati posisi penduduk kelas dua, namun usaha untuk merajut kembali sejarah
yang pernah terkoyak masih terus berlanjut. Terutama sekali, upaya membangun
kehidupan sosio-ekonomi orang-orang Moro agar lebih baik dari hari kemarin.
Wallahu ‘alam bil shawab.
(Dari
Majalah Hidayah edisi spesial Idul Fitri 1425 H.)
Perlahan
tapi pasti Indonesia pun tengah menuju Philipinaisasi, jika saja umat Islam
tidak waspada dan terus berjuang…
..
No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.