Gene Netto Convert
Islam
Gene Netto Muallaf dari
Selandia Baru
Nama saya Gene Netto,
sejak tahun 1995 saya telah menetap di Jakarta, Indonesia, dan pada saat saya
bertemu dengan orang baru, mereka selalu penasaran tentang latar belakang saya.
Mereka ingin tahu tentang bagaimana saya bisa belajar bahasa Indonesia dengan
baik, pindah ke Indonesia dan akhirnya masuk Islam. Lewat bab ini, saya ingin
menjelaskan latar belakang diri saya dan bagaimana caranya saya menjadi
tertarik pada Islam.
Masa kecil dan mencari tuhan
Saya lahir di kota Nelson,
sebuah kota kecil di Pulau Selatan di Selandia Baru (New
Zealand) pada tanggal 28 April, tahun 1970. Bapak dan ibu saya
bertemu di Nelson, menikah dan mendapat tiga anak; saya nomor dua. Bapak
berasal dari Birma (yang sekarang dinamakan Myanmar) dan setelah Perang Dunia
II, kakek saya pindah ke Selandia Baru.
Ibu lahir di Selandia Baru dan
leluhurnya adalah orang Inggris dan Irlandia. Ibu dibesarkan di sebuah
perternakan domba dan sapi di pulau selatan Selandia Baru.
Pada usia kecil saya sudah merasa kurang betah di Selandia Baru.
Keluarga saya beragama Katolik dan Ibu saya berkulit putih tetapi saya masih
merasa berbeda dengan orang lain. Kakak dan adik saya mendapatkan mata biru dan
rambut coklat yang membuat mereka lebih mirip dengan orang berkulit putih yang
lain. Tetapi mata saya berwarna coklat-hijau dan rambut saya hitam, dan hal itu
memberi kesan bahwa saya bukan orang berkulit putih asli. Jadi, saya orang
mana? Orang barat? Atau orang Asia? Saya sudah mulai merasa tidak betah dan
oleh karena itu saya berfikir banyak tentang dunia dan siapa diri saya.
Saya membesar terus dan
berfikir terus tentang berbagai macam hal, terutama tentang agama, dunia dan
alam semesta. Seringkali saya melihat bintang dan dalam kesunyian larut malanm
saya berfikir tentang luasnya alam semesta dan bagaimana diciptakan. Dari umur
9 tahun saya mulai membaca buku tentang agama dan topik serius yang lain. Saya
ingin tahu segala-galanya: agama, dunia, budaya, sejarah, alam semesta…
semuanya! Seingat saya, hanya saya yang tertarik pada dinosaurus
pada usia itu. Teman-teman saya yang lain tidak mau tahu tentang dinosaurus
karena saat itu film Jurassic Park belum
muncul. Hanya saya yang sering membaca tentang topik serius seperti pembuatan
piramida, agama Buddha dan Hindu, sejarah dunia, luasnya alam semesta dan
sebagainya.
Seperti anak kecil yang lain, saya juga diajarkan agama oleh
orang tua saya, karena mereka sebelumnya juga diajarkan oleh orang tua mereka.
Di dalam ajaran agama Katolik ada banyak hal yang membingungkan saya. Setiap
saya bertanya tentang Tuhan dan agama Kristen, saya seringkali mendapat
penjelasan yang tidak memuaskan. Saya menjadi bingung dengan konsep Trinitas,
di mana ada Tuhan, Yesus, dan Roh Kudus, dan semuanya Tuhan tetapi Tuhan hanya
satu. Tuhan menjadi manusia, dan manusia itu mati, tetapi Tuhan tidak bisa
mati, tetapi manusia itu adalah Tuhan. Saya menjadi bingung dengan pastor yang
mengampuni dosa orang dengan mudah sekali tanpa bicara kepada Tuhan terlebih
dahulu.
Bagaimana kalau pastor salah dan dosa saya belum diampuni?
Apakah saya bisa mendapatkan bukti tertulis dari Tuhan yang menyatakan bahwa
saya sudah bebas dari dosa? Bagaimana kalau saya bertemu dengan Tuhan di hari
akhirat dan Dia menyatakan bahwa dosa saya belum diampuni? Kalau saya berprotes
dan menunjuk pastor yang meyakinkan saya bahwa tidak ada dosa lagi, Tuhan cukup
bertanya “Siapa menyuruh kamu percaya pada omongan dia?” Siapa yang bisa
menyelamatkan aku kalau pastor keliru dan dosa aku tetap ada dan dihitung oleh
Tuhan?
Saya mulai berfikir tentang bagaimana saya bisa mendapatkan
penjelasan tentang semua hal yang membingungkan saya. Akhirnya jalan keluar
menjadi jelas: saya harus bicara empat mata dengan Tuhan! Hanya Tuhan yang bisa
menjawab semua pertanyaan saya.
Pada suatu hari, saya menunggu
sampai larut malam. Saya duduk di tempat tidur dan berdoa kepada Tuhan. Saya
menyuruh Tuhan datang dan menampakkan diri kepada saya supaya saya bisa
melihat-Nya dengan mata sendiri. Saya menyatakan bahwa saya siap percaya dan
beriman kepada Tuhan kalau saya bisa melihatnya sekali saja dan mendapatkan
jawaban yang benar dari semua pertanyaan saya. Kata orang, Tuhan bisa melakukan apa
saja! Kalau benar, berarti Tuhan juga bisa muncul di kamar saya
pada saat disuruh muncul. Saya berdoa dengan sungguh-sungguh dan menatap
jendela di kamar, menunggu cahaya Tuhan masuk dari luar.
Saya menunggu lama sekali. Sepuluh minit. Lima belas minit. Mana
Tuhan? Kata orang, Tuhan Maha Mendengar, berarti sudah pasti mendengarkan saya.
Saya menunggu lagi. Melihat jendela terus. Menunggu lagi. Kenapa Tuhan belum
datang? Barangkali Dia sibuk? Kena macet? Saya melihat jendela lagi. Setelah
menunggu sekian lama dan benar-benar memberi kesempatan kepada Tuhan untuk
muncul. Tetapi Tuhan ternyata sibuk pada malam itu dan Dia tidak hadir.
Hal itu
membuat saya bingung. Bukannya saya sudah berjanji bahwa saya akan percaya
kepada-Nya kalau Dia membuktikan bahwa Diri-Nya benar-benar ada? Kenapa Dia
tidak mau menampakkan Diri kepada saya? Bagaimana saya bisa percaya kalau saya
tidak bisa melihat-Nya? Saya menangis dan tidur. Besoknya saya berdoa lagi dengan
doa yang sama. Hasilnya pun sama: Tuhan tidak datang dan saya menangis lagi.
Ini merupakan contoh logika
seorang anak kecil. Dalam pengertian seorang anak, apa yang tidak terlihat,
tidak ada. Apalagi sesuatu yang begitu sulit didefinisikan seperti konsep
“tuhan”. Pada saat itu, terjerumus dalam kebingungan, saya memutuskan untuk
tidak percaya kepada Tuhan dan menyatakan diri “ateis” (tidak percaya kepada
tuhan mana saja). Saya memberitahu kepada Tuhan bahwa saya sudah tidak percaya
kepada-Nya. Dan saya memberitahu Tuhan bahwa Dia memang tidak ada dan semua
orang yang percaya kepadanya adalah orang bodoh saja yang hanya membuang
waktunya. (Dalam kata lain, saya ngambek terhadap
Tuhan.) Di dalam hati, saya berbicara kepada Tuhan dengan suara yang keras supaya
Dia bisa mendengar dengan jelas pernyataan saya bahwa Tuhan tidak ada!
Pada hari-hari yang berikut, saya memberi waktu kepada Tuhan
untuk datang dan minta maaf karena tidak sempat datang dan menampakkan diri
pada hari sebelumnya. Saya sudah membuat pernyataan yang jelas. Tuhan
semestinya mendengar pernyataan saya itu dan memberi tanggapan. Tetapi tidak
ada tanggapan dari Tuhan. Akhirnya saya mencapai kesimpulan bahwa Tuhan itu
memang tidak ada. Sudah terbukti. Kalau ada Tuhan, Dia pasti akan mendengar doa
saya dan menampakkan diri. Kenyataan bahwa Tuhan tidak menampakkan diri
membuktikan bahwa Tuhan tidak ada!
Saya bersekolah terus dan sembunyikan kenyataan bahwa saya tidak
percaya kepada Tuhan. Kalau ada yang menanyakan agama saya maka saya menjawab
“Katolik” saja. Selama SD, SMP, dan SMA saya belajar terus tentang dunia tetapi
sudah malas mempelajari agama secara serius, kecuali untuk mencari
kekurangannya, karena saya menanggap agama itu sesuatu yang membuang waktu saja
tanpa membawa hasil. Kebetulan, setelah lulus SMA, orang tua saya memutuskan
untuk berpindah ke Australia. Kebetulan, saya memutuskan untuk ikut juga
daripada tetap di Selandia Baru.
Di Australia, saya berusaha untuk masuk kuliah Psikologi di
Universitas Queensland pada tahun 1990. Saya mau menjadi seorang psikolog anak.
Kebetulan, lamaran saya itu tidak diterima karena nilai masuk saya kurang
tinggi. Sebagai pilihan kedua, saya ditawarkan kuliah Pelajaran Asia di
Universitas Griffith. Di Australia, seorang siswa yang tidak diterima di fakultas
pilihan pertamanya, akan ditawarkan fakultas atau universitas yang lain.
Setelah satu tahun, dia bisa pindah kembali ke pilihan pertamanya asal nilainya
bagus. Kebetulan, saya menerima tawaran untuk masuk Fakultas Pelajaran Asia
dengan niat akan pindah ke Fakultas Psikologi setelah satu tahun.
Kebetulan, di dalam Fakultas Pelajaran Asia pada tahun pertama
semua siswa wajib mengambil mata kuliah Bahasa Asia. Ada pilihan Bahasa Jepang,
Cina, Korea, dan Indonesia. Kebetulan, saya memilih Bahasa Indonesia karena
sepertinya paling mudah dari yang lain. Saya hanya perlu mengikuti mata kuliah
itu selama satu tahun saja jadi sebaiknya saya mengambil yang termudah.
Kebetulan, dalam waktu enam bulan, nilai saya sangat baik, termasuk yang paling
tinggi.
Tiba-tiba kami diberitahu ada 3 beasiswa bagi siswa untuk kuliah
di Indonesia selama 6 bulan. Saya tidak mengikuti seleksi karena berniat pindah
fakultas pada akhir tahun. Tiga teman dipilih. Kebetulan, salah satunya
tiba-tiba menyatakan ada halangan dan dia tidak bisa pergi ke Indonesia. Proses
seleksi dibuka lagi. Ada seorang dosen yang memanggil saya dan bertanya kenapa
tidak mengikuti seleksi dari pertama kali. Saya jelaskan niat saya untuk pindah
fakultas pada akhir tahun pertama.
Dia menyatakan “Gene, kemampuan kamu dalam bahasa Indonesia
sudah kelihatan. Kenapa kamu tidak teruskan saja Pelajaran Asia. Dalam waktu 2
tahun kamu sudah selesai. Belum tentu kamu senang di bidang psikologi, tetapi
sudah jelas bahwa kamu ada bakat bahasa. Coba dipikirkan kembali.”
Akhirnya saya memutuskan untuk meneruskan pelajaran saya di
Fakultas Pelajaran Asia itu dan mengikuti proses seleksi untuk beasiswa
tersebut. Kebetulan, setelah proses selesai, saya dinyatakan menang dan akan
diberangkatkan ke Indonesia pada tahun depan (1991). Sekarang saya menjadi
lebih serius dalam pelajaran saya karena sekarang ada tujuan yang lebih jelas.
Dalam Islam hanya Tuhan yang bisa mengampuni dosa, bukan Pendeta
atau Pastor.
Pada suatu hari diadakan acara barbeque (makanan
panggang) untuk Klub Indonesia. Semua orang Indonesia di kampus diundang untuk
bergaul dengan orang Australia yang belajar tentang Indonesia. Pada saat saya
sedang makan, ada orang Indonesia yang datang dan kebetulan dia duduk di
samping saya. Dia bertanya “Kamu Gene, ya?” Ternyata dia pernah dengar tentang
saya dari seorang teman. “Apakah kamu pelajari agama Islam, Gene?” Saya
jelaskan bahwa memang ada mata kuliah tentang semua agama di Asia termasuk
agama Islam. “Apakah kamu juga tahu bahwa dalam Islam hanya Tuhan yang bisa mengampuni
dosa? Tidak ada pendeta atau pastor yang boleh mengampuni dosa orang!”
Saya begitu kaget, saya
berhenti makan dengan hotdog di
tengah mulut. Saya suruh dia menjelaskan lebih mendalam lagi. Ini bukan sebuah
kebetulan! Inilah sebuah jawaban yang telah saya cari selama 10 tahun. Di dalam
Islam hanya Tuhan yang berhak mengampuni dosa. Apakah mungkin di dalam agama
Islam ada logika dan ajaran yang bisa saya terima? Apakah mungkin ada agama
yang benar di dunia ini? Dari semua kebetulan yang membawa saya ke titik itu,
tiba-tiba semuanya terasa sebagai sesuatu yang terencana, dan sama sekali tidak
terjadi secara tidak sengaja. Yang saya lihat adalah serangkaian kebetulan yang
membawa saya ke kampus itu dan bahasa Indonesia. Tetapi dari pandangan orang
yang percaya kepada Allah, tidak ada kebetulan sama sekali di dunia ini!
Masuk Islam
Dari saat itu saya mulai mempelajari dan menganalisa agama Islam
secara mendalam. Saya mulai membaca buku dan mencari teman dari Indonesia yang
beragama Islam. Secara pelan-pelan saya mempelajari Islam untuk mencaritahu
apakah agama ini benar-benar masuk akal atau tidak.
Pada tahun 1991, saya dan dua teman kuliah menjalankan beasiswa
untuk kuliah di Indonesia. Saya belajar di Universitas Atma Jaya di Jakarta dan
kedua teman yang lain itu dikirim ke Salatiga dan Sulawesi. Pada saat saya di
Atma Jaya (sebuah universitas Katolik), sebagian besar teman saya adalah orang
Islam. Kenapa bisa begitu? Memang ada orang Islam yang kuliah di Atma Jaya, dan
saya merasa sudah paham semua kekurangan yang ada di dalam agama Kristen, jadi
saya tidak tertarik untuk bergaul dengan orang yang beragama Kristen. Saya
lebih tertarik untuk menyaksikan agama Islam dan pengikutnya dan oleh karena
itu saya menjadi lebih dekat dengan beberapa orang yang beragama Islam. Kalau
ada teman yang melakukan sholat, saya duduk dan menonton orang itu dan
memikirkan tentang apa yang dia lakukan dan kenapa.
Pada saat kembali ke Australia
setelah 6 bulan di Jakarta, saya menjadi salah satu siswa yang bahasa
Indonesianya paling lancar di kampus. Oleh karena itu, saya sering bergaul
dengan orang Indonesia. Secara langsung dan tidak langsung saya pelajari agama
Islam terus. Saya membaca buku dan berbicara dengan orang Indonesia di
mana-mana. Setelah selesai kuliah Bachelor of Arts,
saya mengambil kuliah tambahan selama satu tahun di fakultas pendidikan untuk
menjadi guru bahasa. Pada saat yang sama saya mengikuti seleksi untuk beasiswa
kedua, kali ini dari Perkumpulan Wakil Rektor Australia (Australian
Vice Chancellors Committee). Beasiswa ini hanya untuk satu orang
per bagian negara dan, kali ini, saya bebas memilih lokasi kuliah di Indonesia.
Sekali lagi, saya terpilih, dan mendapatkan beasiswa untuk
kuliah satu tahun di Universitas Indonesia. Setelah selesai kuliah tambahan di
Fakultas Pendidikan, Universitas Griffith, pada tahun 1994 saya berangkat
sekali lagi ke Jakarta untuk belajar di Fakultas Sastra di UI. Selama satu
tahun di UI, seperti waktu saya ada di Atma Jaya, saya bergaul terus dengan
orang Islam.
Pada
bulan Februari, tahun 1995, saya duduk sendiri di lantai pada tengah malam dan
menonton shalat Tarawih, tayangan langsung dari Mekah. Saya melihat sekitar 3-4
juta orang melakukan gerakan yang sama, menghadap arah yang sama, mengikuti
imam yang sama, berdoa dengan ucapan yang sama, berdoa kepada Tuhan yang sama.
Saya berfikir: Mana ada hal seperti ini di negara barat? Orang yang berkumpul
untuk pertandingan bola yang paling hebat di dunia cuma beberapa ratus ribu.
Tidak pernah ada orang sebanyak ini berkumpul si suatu tempat untuk menonton
bola, mengikuti suatu pertandingan, atau bahkan mendengarkan Paus bicara. Ini
benar-benar luar biasa! Dan tidak ada tandingnya.
Selama satu tahun itu saya teruskan pelajaran agama saya. Tidak
secara formal atau serius, tetapi dengan memantau dan mencermati. Kalau ada
ceramah agama di TV, dari Kyai Zainuddin MZ atau Kyai Anwar Sanusi dan
sebagainya, maka saya mendengarkannya dan memikirkan maknanya. Dan secara
pelan-pelan saya mendapatkan ilmu agama dari berbagai macam sumber. Pada akhir
tahun 1995 itu saya sudah merasa sulit untuk menolak agama Islam lagi.
Tidak ada yang bisa saya salahkan dalam ajaran agama Islam
karena memang Islam didasarkan logika. Semua yang ada di dalam Islam mengandung
logika kalau kita mau mencarinya. Apa boleh buat? Saya mengambil keputusan
untuk masuk Islam. Akan tetapi, saya seharusnya kembali ke Australia dan
mengajar di sekolah di sana. Saya mulai berfikir tentang bagaimana saya bisa
mempelajari agama Islam di sana? Ada masjid di mana? Dari mana saya bisa mendapatkan
makanan yang halal? Dari mana saya bisa mendapatkan guru agama?
Sepertinya saya akan sulit
hidup sebagai orang Islam kalau harus hidup di luar negeri. Kalau saya mau
menjadi orang Islam dengan benar maka saya harus menetap di Indonesia untuk belajar.
Akhirnya saya mengambil keputusan untuk menetap di Indonesia dan masuk Islam. Alhamdulillah. [al-muslim.co.cc]
No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.