Penyakit RIFT VALLEY FEVER
Pada saat ini sangat banyak penyakit zoonosis pada manusia
yang sumbernya berasal dari hewan dan telah mewabah di dunia.
Istilah zoonosis telah dikenal untuk menggambarkan suatu kejadian penyakit
infeksi pada manusia yang ditularkan dari hewan vertebrata. Kemunculan dari
suatu penyakit zoonosis tidak dapat diprediksi dan dapat membawa dampak yang
sangat menakutkan bagi dunia, terutama bagi komunitas yang bergerak di bidang
kesehatan masyarakat dan veteriner.
Kasus-kasus penyakit zoonosis membuka suatu pemahaman baru dari
lembaga kesehatan hewan sedunia atau OIE (Office Internationale des Epizootes)
mengenai musuh dunia. OIE yang sekarang dikenal dengan WOAH berpendapat bahwa
dewasa ini, musuh dunia bukan lagi perang dunia, bom nuklir ataupun serangan
teroris, melainkan alam itu sendiri. Kemunculan yang tak terduga dari suatu
penyakit zoonosis juga memunculkan istilah emerging zoonosis. Istilah ini dapat
didefinisikan secara luas sebagai suatu kejadian penyakit zoonosis dengan sifat
agen masing-masing yaitu:
(1) agen penyakit yang telah dikenal dan muncul pada area
geografik yang berbeda
(2) agen penyakit yang telah dikenal atau kerabat dekatnya dan
menyerang hewan yang sebelumnya tidak rentan
(3) agen penyakit yang belum dikenal sebelumnya dan terdeteksi
untuk pertama kalinya.
Sedangkan re-emerging zoonosis adalah suatu penyakit zoonosis
yang pernah mewabah dan sudah mengalami penurunan intensitas kejadian namun
mulai menunjukkan peningkatan kembali (Morse 2004).
Setiap tahapan sejarah kehidupan manusia selalu disertai
kemunculan dari suatu penyakit yang baru. Perubahan sosial dan ekologi yang
berkaitan dengan penyebaran populasi manusia, perubahan lingkungan dan
globalisasi dapat berimplikasi pada kemunculan suatu penyakit zoonosis. Seiring
dengan hal tersebut maka juga akan terjadi perpindahan hewan antar wilayah,
bahkan benua, melalui perusakan habitat, perdagangan, permintaan pribadi dan
kepentingan teknologi, dimana mikroorganisme, termasuk mikroorganisme patogen,
juga mengalami perpindahan ke daerah yang baru. Pada dasarnya, penyakit yang
ada di dunia juga mengalami perkembangan yang sejalan dengan perkembangan dunia
yang cukup pesat.
Dari sejumlah 1.415 mikroba patogen pada manusia yang diketahui, 61,6% bersumber dari hewan (Brown 2004). Sejumlah 616 mikroba patogen yang ditemukan pada hewan ternak, 77,3% diantaranya merupakan multiple spesies atau spesies yang memiliki kemampuan untuk menginfeksi lebih dari satu jenis hewan.
Pada karnivora domestik, dari 374 mikroba patogen, 90%
diantaranya diklasifikasikan sebagai multiple spesies. Emerging zoonosis dapat
dilihat secara operasional sebagai proses dua tahap. Tahap pertama adalah
pemaparan suatu agen penyakit ke suatu populasi host yang baru. Tahap kedua
adalah proses penyebaran lebih lanjut dari agen penyakit dalam populasi host baru
tersebut. Sebagian besar dari kemunculan suatu wabah penyakit berasal dari agen
yang sudah berada di lingkungan dimana agen tersebut mendapatkan kesempatan
atau waktu dan kondisi yang tepat untuk kembali menginfeksi host atau populasi
yang baru di dunia. Salah satunya adalah Rift Valley fever.
Penyakit ini pertama kali dilaporkan di lembah Rift Kenya dan
terletak pada daerah Afrika. Sellers (1981) menjelaskan sebelumnya mengenai
kejadian epizootik pada hewan domestik dan epidemik pada manusia di Afrika pada
tahun 1979. Beberapa faktor yang mempengaruhi epizootik meliputi iklim, vektor,
perpindahan reservoir, dan reservoir hewan domestik.
Epizootik RVF terjadi di Kenya pada tahun 1961 – 1962 ( Coackley
et al. 1976a) dan pada tahun 1978-79 (Davies dan Highton 1980). Karena
tingginya kejadian aborsi yang diamati selama kejadian penyakit, RVF diduga
sebagai penyebabnya (Scott et al 1963).
Davies dan Onyango 1978 mengatakan bahwa kera vervet
(Cerophitecus aethiops) kemungkinan bukan sebagai host reservoir virus RVF di
Kenya. Sepuluh persen dari abortus diteliti melalui diagnosis laboratorium di
zimbabwe dalam periode 1 tahun ditemukan sebagai RVF ( Shone et al 1958). Pada
tahun 1983 dan 1976 kejadian penyakit RVF dilaporkan di Sudan (Eisa et al
1980).
Hingga tahun 1976-1977, RVF dinyatakan zoonosis dilaporkan hanya
di Sub-saharan Afrika, tetapi tahun 1977 kejadian penyakit terjadi di Mesir
(Peters dan Meegan 1981).
Rift Valley fever adalah penyakit infeksi akut yang ditularkan
melalui vektor yang merupakan penyakit viral pada domba dan sapi yang
menyebabkan keguguran dan menyebabkan kematian tinggi pada domba muda dan anak
sapi. Ciri khasnya yaitu periode ingkubasi yang singkat, demam leukopenia,
nekrosi pada hati, dan inklusi asidofilik inti sel hati. Rift Valley Fever
merupakan zoonosis yang diasumsikan dapat menyebar dari lembah Rift Kenya ke
daerah Afrika lainnya yang menyebabkan penyakit serius pada manusia dan hewan.
Henning (1952,1956) menjelaskan penyakit yang lainnya di Afrika
Utara yang hampir mirip dengan Rift Valley Fever yang disebabkan oleh agen yang
dinamakan virus Wesselbron. Hubungan serologis telah dibuktikan antara Rift
Valley Fever dan Zinga virus, yang kemungkinannya adalah strain virus Rift
Valley Fever, dan berdasarkan hal ini kedua virus tidak dapat dibedakan.
Etiologi
Rift Valley Fever disebabkan oleh virus dari genus Phlebovirus
dari famili Bunyaviridae. Virus ini diisolasi sejak tahun 1930 dari suatu kasus
epidemik pada domba pada peternakan di Rift Valley, Kenya. Kasus ini kemudian
menjadi pandemi di Afrika Utara. Pada awal tahun 2000, penyakit Rift Valley
Fever hanya ditemukan di Afrika dan menyerang hewan ternak dan manusia, namun
pada bulan September 2000, penyakit ini telah menyebar hingga negara-negara
Arab dengan efek yang lebih ganas dan menyebabkan penyakit yang lebih parah
pada ternak dan manusia. Penyebab penyebaran dan keganasan agen penyakit ini
adalah perdagangan antar negara dan benua, serta faktor cuaca yang mendukung
terbukanya port of entry dari agen penyakit sehingga memunculkan penyakit yang
mewabah pada ternak dan krisis kesehatan masyarakat di tersebut.
Virus ini dikategorikan ke dalam famili Bunyaviridae yang
berdasarkan morfologi dan karakteristik biokimia, dan juga pada cross reaksi
serologi dengan virus grup demam phlebotomus. Bentuk virus tersebut spiral,
berdiameter 90 sampai 100nm, dan memiliki proyeksi permukaan yang hampir sama
yang diemukan pada virus bunyaviridae. Virus dapat tumbuh dengan biakkan sel
kultur, kecuali lymphoblastosid sel line, dan pertumbuhannya dapat dilihat
dengan menggunakan teknik fluorescent antibody (FAT).
Virus pada famili Bunyaviridae dicirikan dengan adanya RNA
rantai tunggal dengan tiga segmen unik, protein nukleokapsid yang berasosiasi
dengan RNA, dan amplop yang mengandung minimal satu virus spesifik
glikoprotein. Ukuran strain viscerotropik diteliti dan tidak ditemukan
perbedaan signifikan dari bentuk neurotropik (Naude et al, 19454)
Pertumbuhan virus Rift Valley Fever pada fibroblast tikus
dicirikan dengan 6 jam priode latent, kejadian titer virus dari kedua sel bebas
dan sel asosiasi virus adalah selama 16 dan 20 jam, dan fase pelepasan virus
lebih kurang selama 48 jam (Johnson dan Orlando 1968).
Teknik Fluorescent Antibody digunakan untuk mendeteksi antigen
virus Rift Valley Fever pada kultur jaringan setelah inkubasi selama 5 jam.
Pewarnaan fluorescent selalu pada sitoplasma (Easterday dan Jaeger 1963).
Beberapa
spesies nyamuk, seperti Aedes, menjadi vektor
dari virus ini. Keberadaan vektor ini menjadi penyebab potensial dari kejadian
epizootik dan bahkan epidemi pada manusia akibat keberadaan vektor pada wilayah
baru yang menyebabkan introduksi virus di wilayah tersebut. Kontak langsung
dengan darah, cairan tubuh dan organ tubuh hewan yang terinfeksi juga menjadi
jalur transmisi dari virus ini kepada manusia. Rute inhalasi juga terjadi pada
pekerja di laboratorium. Periode inkubasi dari virus ini bervariasi mulai dari
2 hari hingga 6 hari. Gejala klinisnya menyerupai influenza dengan demam secara
tiba-tiba, sakit kepala, nyeri otot dan sakit punggung. Beberapa penderita juga
mengalami kekakuan pada leher dan fotofobia serta muntah. Untuk virus
Rift Valley (pada kambing dan binatang lain).
Vektor
potensial adalah beberapa jenis nyamuk Aedes; Ae. mcinthoshi bisa terinfeksi
secara transovarian dan bisa menjadi tempat tinggal virus RVF di daerah fokus
enzootik. Kebanyakan orang yang terinfeksi RVF karena menangani jaringan
binatang pada waktu melakukan necropsy atau
pemotongan hewan. Culex pipiensadalah
vektor penyebab wabah RVF di tahun 1977 di Mesir yang menelan korban sedikitnya
600 kematian; penularan mekanis oleh lalat hematopagus dan penularan melalui
udara atau darah yang terinfeksi bisa menyebabkan terjadinya KLB RVF.
Arthropoda lain bisa menjadi vektor, seperti Culicoides paraensis untuk virus
Oropouche. Masa inkubasi biasanya 3 – 12 hari.
Penularan
Tidak langsung ditularkan dari orang ke orang.
Nyamuk yang terinfeksi mungkin menularkan virus sepanjang hidupnya. Terjadinya
viremia, syarat penting untuk infeksi virus pada vektor, viremia pada manusia
terjadi pada masa gejala klinis awal untuk kebanyakan virus.
Semua golongan usia rentan terhadap penyakit
ini, baik pria maupun wanita. Infeksi yang tidak jelas tanpa gejala dan
penyakit ringan umum terjadi. Infeksi dapat menimbulkan imunitas, dan di daerah
endemis anak-anak sangat rentan terhadap penyakit ini.
Virus Rift Valley Fever ini ditularkan ke sapi
dan domba muda melalui gigitan arthtropoda; nyamuk kemungkinan yang menjadi
vektor penting. Infeksi pada manusia disebabkan melalui makanan yang
terkontaminasi atau karena material laboratorium.
Virus Rift Valley Fever kemungkinan
ditularkankan secara biologis dan mekanis oleh vektor hematophagos. Meskipun
manusia dapat terinfeksi, hampir semua hewan dapat trinfeksi melalui vektor
nyamuk (Meegan et al 1980). Rift Valley Fever diisolasi dari Culex Theileri,
Aedes linneatopennis, Anopheles coustani, Aedes dentatus, dan Eretmapocites
quinquevittatus pada waktu epizootik di Afrika Utara. Hali ini disimpulkan bahwa
Culex theileri merupakan vektor penting pada anan sapi dan domba.
GEJALA KLINIS
Sindrom klinis diklasifikasikan atas perakut,
akut, subakut, dan ringan . Keparahan dari tanda yang terjadi tergantung pada
spesies dan umur Host. Sindrom yang paling parah telah diamati pada anak domba,
anak sapi, dan domba dewasa. Gejala utamanya tidak spesifik dan meliputi demam,
leleran hidung, dan aborsi. Pada sapi maupun domba, bukti yang menunjukkkan
penyakit kemungkinannya adalah aborsi. Angka kematian kemungkinan mencapai 70%
pada anak domba dan anak sapi. Pada sapi maupun domb, bukti yang menunjukkan
penyakit kemungkinannya adalah aborsi.
Pada manusia, RVF mungkin bermanifestasi pada
salah satu penyakit seperti penyakit benigna yang ditandai dengan demam, sakit
kepala dan malaise atau sperti sindrom akut yang disirikan dengan hepatik,
sistem saraf pusat, dan komplikasi okular.
Pada domba dewasa, secara acak timbul penyakit
akut meliputi vomitting, leleran mukopurulen dari hidung, pulsus cepat, aborsi
dan angka kematian 20 sampai 30%. Bentuk subakut juga biasa terjadi pada hewan
dewasa dan dicirikan dengan demam, anoreksia, kelmahan umum, dan aborsi. Pada
bentuk ringan, hanya terjadi reaksi febrile.
Pada domba muda , biasa terjadi dengan bentuk
perakut. Sindrom tersebut memiliki periode ingkubasi 12 jam dan menyebabkan
kematian lebih bersifat variabel pada kambing dan timbul dalam bentuk kurang
parah (Easterday 1965).
Gejala RVF pada anak sapi tidak tentu,
penghambatan laktasi, salivasi, diare, dan demam merupaan tanda yang dilaporkan
(Easterday 1965).
Rift Valley Fever pada menusia dalam bentuk
akut, febrille, sindrom skit self-limiting yang terkadang menyebabkan kematian
karena demam berdarah. Skit self limiting bukan komplikasi memiliki masa
ingkubasi 2 sampai 6 hari (Peters an Meegan 1981). Pada manusia penyakit ini
dicirikan dengan demam, sakit kepala, sakit pada otot, lemah, mual, dan malaise
dengan durasi 1 sampai 4 hari. Kasus lebih lanjut berhubungan dengan
sindrom yang lebih parah meliputi demam berdarah, nekrosis hepatik,
enchepalitis dan kopmplikasi okular (Easterday 1965).
PATOLOGI
Virus Rift Valley Fever menyebabkan perubahan
patologis yang sama pada tiap hewan domestik dan laboratorium. Sifat
pathognomonis dari sindrom ini meliputi nekrosis hepatik focal atau conflluent,
inklusi inti sel, serosal dan mukosal hemoragis. Encephalittis terjadi pada
hewan laboratorium yang ter-infeksi strain neurotroppik yang dicirikan dengan
nekrosis jaringan saraf pertumbuhan inklusi asidofilik intisel dan glikosis.
Lesi okular dengan hemoragis dan retinitis diamati pada beberapa kasus di
manusia.
Pada studi sementara mengenai perkembangan
lesi pada anak domba secara eksperimental diinfeksikan dengan virus RVF, yang
ditemukan warna abu-abu hingga biru kekuningan, berdiameter 00,5 hingga 1mm,
terbentuk di parenkim hati dalam waktu 28 dan 40 jam setelah inokulasi.
Foci ini membesar tiap 12 jam dengan pembesaran 2 sampai 2,5 mm. Pada lesi-lesi
diamati perubahan histolois yng terjadi termasuk degenerasi hepatocyte dan
necrosis pembentukan badan inklusi inti sel aidofilik, dan infiltrasi
leukocytes dan histiocytes (Easterday1965).
Perubahan pada hati pada domba yang baru lahir
berlanjut dari focal, lesi primer, dan necrotik hepatocyt dengan
badan asidofilik dalam 6 sampai 12 jam untuk pembesaran foci primer dan
degenerasi parenkim dalam 30 sampai 36 jam ( Coetzer dan Ishak 1982).
Kasus fatal yang terjadi pada manusia terjadi
pada saat epidemic RVF 1977 di Mesir yaitu nekrosis hati parah, pneumonia
intestnal, dan degenerasi myokardial ( Abdel- Wahab et al 1978)
DIAGNOSIS
Gejala yang menandakan peyakit tersebut
adalah:
1. Mortalitas
tingi pada domba dan sapi
2. Tingginya angka
abortus
3. Lesi hepatik
Lesi hepatik dan hemoragi merupakan
tanda diagnostik yang penting. Beberapa uji yag dipakai untuk tujuan diagnosis
yaitu serum netralisasi, Hemaglutinin Inhibisi, dan CF test.
Cara-cara pemberantasan
Tindakan pencegahan.
1) Lakukan semua tindakan pencegahan yang
diterapkan untuk ensefalitis yang ditularkan oleh nyamuk. Untuk RVF,
kewaspadaan umum perlu diperhatikan dalam penanganan binatang yang terinfeksi
serta produknya, begitu juga terhadap penanganan darah fase akut pada manusia.
2) Vaksin RFV dalam taraf uji coba yang dibuat
dari kultur sel yang diinaktivasi tersedia untuk manusia, sedangkan vaksin
hidup dan vaksin dari virus yang diinaktivasi tersedia untuk imunisasi kambing,
domba dan sapi. Vaksin yang disiapkan dari strain neurotropik yang disebarkan
melalui serial intraserebral pada mencit tidak cukup memiliki immunogenik
dan menyebabkan keguguran ketika dimasukkan ke dalam hewan hamil. Manusia yang
divaksinasi dengan virus RVF yang tumbuh pada kultur jaringan dan kemudian
diinaktivasi dengan foalin. Pada hewan, injeksi tunggal dengan vaksin yang sama
menginduksi titer antibodi netralisasi yang rendah yang tidak selalu
mengakibatkan keguguran atau mengakibatkan viremia. Karena itu, multipel
injeksi vaksin yang mengandung virus dan adjuvant sangat direkomendasikan.
Perkembangan anomalies berhubungan dengan penggunaan vaksin yang digabung virus
RVF dengan virus wesselbron; yang nantinya virus tersebut menjadi agen
pennyebab.
Vaksin yang diproduksi melalui otak tikus atau
melalui embrio telur mengakibatkan aborsi pada ewes bunting dan bersifat
immunogenik lemah ( Easterday 1965). Anak sapi yang divaksin RVF strain
neurotropik meengakibatkan respon serum antibody nutralizing berlevel rendah,
tetapi tetap memiliki derajat immunitas yang sama ketika di bandingkan dengan
virus pantropik 28 bulan kemudian. Beberapa anak sapi yang terlahir dari induk
yang divaksin memiliki antibodi didalam serumnya yang sebelumnya menyusu dari
kolostrum. Serum anak sapi dan domba yang terinfeksi virus pantropik mengadung
antibodi level tinggi yang berangsung selama 2,5 dan 3 tahun ( Coackley et al.
1967 a,b).
Vaksin RVF poten aman diterapkan bagi manusia
. Vaksin tersebut disiapkan dari rhesus dan kultur sel ginjal monyet hijau
Afrika yang diinnfeksikan dengan strain pantropik dan diinaktifkan dengan
formalin. Vaksin ini sangat stabil untuk potensi immunogenik dan terbukti
efektiff mencegah dari resiko tinggi pekerja laaboratorium ( Radall ett al.
1963, 1964).
Efek dari berbagai dosis dan kombinaasi vaksin
hidup dan vaksin mati dapat dilihat pada anak sapi. Respon antibodi pada
injeksii pertama dari salah satu vaksin tersebut responnya buruk ketika
dipastikan melalui serum virus neutralisasi dan Hemaglutinin Inhibisi test,
tetapi dosis pendorong dari vaksin inaktif menghasilkan respon anamnestik yang
baik. Anak sapi yang divaksin dengan vaksin hidup tetapi negatif RVF dalam
tesst serologis dapat kebal ketika di coba dengan virus RF virulent ( Barnard
1979 ).
Pengawasan penderita,
kontak dan lingkungan sekitarnya.
1) Laporan kepada
instansi kesehatan setempat : pada daerah endemis tertentu dibanyak negara
bukan merupakan penyakit yang wajib dilaporkan. Untuk Rift Valley
Fever, laporkan kepada WHO,
FAO dan kantor International Epizootic di Paris.
2) Isolasi : Lakukan tindakan kewaspadaan
universal sewaktu menangani darah dan cairan tubuh. Rawatlah penderita di
ruangan yang telah diberi sekat kasa atau di tempat yang telah disemprot dengan
insektisida setidaknya selama 5 hari sesudah onset atau hingga tidak ada demam.
Darah dari penderita RVF mungkin menular.
3) Disinfeksi serentak.
4) Karantina.
5) Imunisasi kontak dan sumber infeksi.
6) Investigasi dari kontak : Tanyakan dimana
tempat tinggal penderita selama 2 minggu sebelum sakit. Cari penderita yang
tidak dilaporkan atau yang tidak terdiagnosa.
7) Pengobatan spesifik
: tidak ada.
Penanggulangan wabah :
1). Gunakan obat gosok anti nyamuk yang telah
dirokemendasikan, untuk orang-orang yang terpajan gigitan nyamuk.
2). Hewan peliharaan yang sakit atau mati dan
yang dicurigai terinfeksi RVF jangan dipotong.
3) Lakukan pengukuran kepadatan vektor nyamuk,
cari dan musnahkan tempat-tempat perkembangbiakan nyamuk.
4) Lakukan Imunisasi pada domba, kambing dan
hewan ternak terhadap RVF.
5) Lakukan Identifikasi domba dan
binatang-binatang lain yang terinfeksi (Rift Valley) dan lakukan survei
serologis terhadap burung (West Nile) atau terhadap tikus (Virus grup C). Sebar
luaskan informasi tentang prevalensi dari penyakit dan luasnya daerah yang
terjangkit..
KESIMPULAN
Rift Valley Fever dapat dicegah melalui vaksinasi pada anak sapi
dan domba Vektor penyebab dapat dicegah dengn penggunaan pestisida,
insektisida. Untuk RVF, lakukan imunisasi terhadap hewan dan dilarang
memindahkan hewan dari daerah enzootik ke daerah bebas penyakit. Dilarang
memotong binatang yang sakit ; untuk virus lainnya tidak ada tindakan spesifik
kecuali upaya untuk mencegah perpindahan nyamuk melalui alat-alat transport
seperti pesawat udara, kapal laut, dan kendaraan darat lainnya. Manfaatkan Pusat
Kerjasama WHO.
No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.