Musa Cerantonio: “Islam Menjawab Pertanyaanku”
Seruni.id –
Musa Cerantonio adalah lelaki asal Austaria yang percaya akan keberadaaan
Tuhan. Ia terlahir dari seorang ibu yang berasal dari Irlandia dan ayahnya yang
berdarah Italia. Sejak ia masih kecil, orangtunya telah menuntunnya menjadi
seorang Katolik. Awalnya, ia memang bangga dengan agama yang dianutnya kala
itu, dia percaya bahwa agama tersebut adalah yang paling benar.
“Bagaimana tidak, saat itu jumlah umat Katolik paling
banyak di dunia. Jumlah yang banyak tersebut tentu menumbuhkan keyakinan bahwa
agama tersebut mengandung kebenaran,” ujarnya.
Meskipun ia bangga dengan agama yang dianutnya, tetapi
Musa Cerantonio dan kelurga tidak benar-benar menjalankan ajaran Katolik.
Bahkan, mereka tidak datang ke gereja kecuali pada hari-hari tertentu saja. “Kami
tidak datang ke gereja kecuali saat Natal atau ketika ada rekan seagama yang
menikah atau meninggal.”
Musa menempuh pendidikan dasar di sekolah Katolik yang
berada di Melbourne, Australia. Saat di sekolah, Musa sangat menyukai pelajaran
agama, entah itu bicara mengenai injil ataupun nabi. Kendati demikian, Musa tak
langsung begitu saja menerapkan ajaran agamanya dengan fasih. Kepercayaan pada
agamanya justru membuatnya menerapkan batasan dalam hidupnya.
“Saat beranjak remaja saya berhasil menghindar dari
tingkah laku buruk yang kerap dilakukan teman-teman seumuran saya. Mereka pergi
ke klub, minum-minum, bahkan memakai obat-obatan,” tuturnya. Musa juga tidak berzina
dengan perempuan yang dikencaninya.
Hingga ia duduk di sekolah menengah, keyakinannya
kepada Tuhan dan agama berhasil ia pertahankan. Ketika itu, Muasa belajar di
sekolah yang sangat liberal dan dijalankan oleh orang-orang dengan pemikiran
yang sangat sosialis.
“Hal ini diterapkan dalam berbagai aspek di sekolah.
Kami tidak perlu menggunakan seragam dan boleh memanggil guru kami dengan nama
mereka. Saya benarbenar merasakan kebebasan di sana,” katanya.
Saat itu, Musa merasa bisa melakukan apa saja sendiri.
Tetapi, kesenangan mendapatkan kebebasan buyar seketika sejumlah pemikiran
sosialis yang diterimanya di kelas tidak sesuai dengan apa yang diinginkannya.
“Semua guru di sekolah tersebut berusaha untuk
mempromosikan paham sosialis. Mereka menyatakan kekagumannya pada Hitler atau
ajaran Marxis,” katanya.
Lalu, saat berbicara mengenai agama, mereka akan
mencela agama habis-habisan bercerita tentang Yesus atau Bunda Maria yang
dipercayai Musa saat itu dengan sangat vulgar. Mereka percaya bahwa agama
dibentuk oleh manusia sendiri. Bahkan bagi mereka, agama telah mati. Menurutnya,
pandangan tersebut tidaklah rasional. Ia percaya bahwa manusia adalah makhluk
yang lemah, yang tidak bisa hidup sendiri, dan tentu memerlukan bantuan dalam
hidupnya. Lalu, bagaimana mereka mampu menciptakan Tuhan?
Dari situlah, Musa kerap berdebat dengan teman ataupun
gurunya di sekolah tentang paham tersebut. Dan, debat-debat tersebut selalu
dimenangkan oleh Musa. Para sosialis tersebut tidak dapat memberikan jawaban
yang masuk akal jika dihadapkan dengan agama. Sementara itu, Musa justru mati-matian
membela agamanya. Namun, semakin ia membela agamanya, justru semakin dia tidak
mengenal agama. Bahkan dia bimbang, apakah perjuangannya itu benar-benar tepat
atau tidak.
Kesadaran itulah yang membuat ia mulai mempelajari
agamanya, ketika dia pulang ke rumah, ia kemudian membaca kitab suci Katolik
dari halaman pertama dengan sangat serius. Pertamakalinya ia membaca kitab
injil, saat itu pula dirinya dibuat syok. Pasalnya, kata-kata yang digunakan
dalam kitab tersebut cenderung kasar. “Kata-kata yang digunakan dalam kitab
tersebut cenderung kasar. Saya tidak membayangkan bila anak kecil membaca kitab
tersebut,” kata dia
Mulai dari situlah, Musa merasa ragu dengan agama yang
dianutnya itu, hingga membuat banyak pertanyaan muncul dibenaknya. “Apakah
benar kata-kata yang sangat vulgar tersebut berasal dari Tuhan?”
Di dalam kitab tersebut menceritakan tentang kisah
Nabi Luth yang menyukai sesama jenis dengan sangat vulgar. Kemudian Musa
beralih membaca Kitab Perjanjian Lama, kitab yang sudah lama tidak lagi disentuh
oleh umat Kristen.
“Saya juga terkejut karena di dalam kitab tersebut
diberi tahu pentingnya memanjangkan jenggot. Kaget juga karena tidak ada satu
pun pendeta yang memanjangkan jenggot mereka,” kata dia.
Dalam kitab tersebut pun melarang umat Kristen untuk
meminum alkohol dan makan babi. Ia semakin bingung, bagaimana mungkin hal
tersebut dilarang, sementara di gereja tempatnya beribadah, mereka kerap
diminta untuk minum anggir dan mengonsusmi babi. Terlintas dipiirannya,
bagaimana mungkin Tuhan melarang banyak hal, tetapi tidak ada yang dijalankan
oleh umat Kristen. Mereka berkompromi secara sepihak tentang larangan tersebut.
“Mereka hanya melakukan sejumlah ajaran Tuhannya.
Memilih yang mudah untuk dijalankan.”
Pada tahun 2000, ia berkesempatan untuk mengunjungi
Vatikan, kesempatan itu ia gunakan untuk memulai pencariannya terhadap Tuhan.
Pada proses pencariannya, dia mempelajari semua agama terkecuali Islam, agama
yang sama sekali belum disentuhnyaa.
Awal mula Musa Cerantonio mengenal Islam, ketika ia
berkenalan dengan seseorang, Musa melihat kebanggan yang besar di dalam
dirinya. Kemudian, temannya itu memperkenalkan dirinya, dan tanpa ragu ia
mengajak berteman, bahkan mengajak Musa untuk menjadi mualaf. “Mari berteman
dan apakah kamu tertarik masuk Islam?” kata Musa menirukan ucapan temannya
yang Muslim itu.
Musa menjawab keinginannya untuk lebih mengenal Islam.
Sang teman tentu dengan senang hati menjawab pertanyaan apa pun mengenai Islam.
Lalu, Musa diberikan sebuah Alquran oleh temannya itu. Namun, Musa Cerantonio
tak pernah sama sekali membacanya.
Suatu ketika, Alquran itu ditemukan oleh kakaknya dan
kemudian dibakar. Kejian itu membuatnya semakin bertanya-tanya. Mengapa ada
orang seperti temannya yang masih bertahan dengan keislamannya, meski banyak
orang yang membenci agama tersebut.
Kemudian, Musa bertemu lagi dengan teman Muslimnya itu
yang berasal dari negara komunis. Dia menjelaskan kepada Musa bahwa Islam juga
mempercayai Yesus, namun Yesus hanyalah dianggap sebagai nabi. Sama dengan Musa
dan Muhammad, tidak seperti pemahaman umat Kristen terhadapnya.
Temannya itu menyatakan, bahwa Islam hanya mengenal
satu Tuhan dan tidak ada kompromi atas hal itu. Dalam Islam, Tuhan tidak pula
dianggap sebagai seorang laki-laki. Tidak juga seperti Yahudi yang meyakini
bahwa roh Tuhan berasal dari roh laki-laki dan perempuan Yahudi.
Musa lalu membaca lebih banyak tentang Islam. “Saya
baca, baca, dan baca. Saking banyaknya membaca, saya menjadi fasih menjelaskan
tentang Islam,” tuturnya.
“Bahkan, saya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan teman-teman saya tentang Kristen dari apa yang saya baca dari hadis
atau literatur Islam lainnya.”
Musa mulai datang ke masjid untuk melihat dan kadang
belajar shalat. “Saya bahkan berpuasa selama sebulan, seperti Muslim lainnya
saat Ramadhan,” tuturnya. Musa juga terus membaca dan mempelajari Alquran.
“Sekali saya memulai membacanya, saya tidak bisa
berhenti. Dan ketika saya selesai membaca seluruh isinya, saat itu pula saya
yakin untuk menjadi Islam.” Dia pun membaca syahadat dan menjadi seorang Muslim pada usianya yang
ke-17 tahun.
Kini, ayah dari dua orang putri itu menikmati
kehidupannya sebagai Muslim dengan damai dan penuh rasa bangga. Semua
pertanyaan dan keraguannya selama ini terjawab sudah oleh Islam. Ia pun hijrah
dari negara asalnya di Australia untuk hidup di negara dengan mayoritas Muslim,
Mesir.
Hal tersebut dilakukannya
agar bisa mempraktikkan dan mempelajari Islam secara lebih baik. Meski
demikian, ia tidak memutuskan hubungan dengan tanah airnya dan terus berdakwah
untuk kemajuan peradabaan Islam di negara asalnya.
.
No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.